Sabtu, 18 April 2009

’Memangkas’ Child Abuse

***Ini tulisan lama. Semoga ada manfaatnya bagi pembaca***

Jakarta, 6 April 2008


Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Seto Mulyadi mengatakan, akar permasalahan kekerasan terhadap anak adalah kesalahan paradigma. Paradigma yang berkembang saat ini di masyarakat adalah bahwa anak merupakan hak milik orangtua dan mendidik serta mendisiplinkan anak harus dengan kekerasan. “Hal tersebut membuat orangtua menganggap bisa melakukan apa saja pada anak, termasuk dengan kekerasan. Padahal, mendidik tidak harus dengan kekerasan,” tuturnya.

Kesalahan paradigma itu kemudian diperparah dengan misalnya, kondisi ekonomi keluarga, stres baik pada anak maupun anggota keluarga, penyakit gangguan mental orang tua, kondisi lingkungan yang buruk, dan sebagainya. “Intinya adalah kesalahan paradigma yang kemudian dipicu oleh hal-hal lain”.

Faktor lain yang bisa memicu kekerasan pada anak misalnya (1) anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu, temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, dan terlalu bergantung kepada orang dewasa, (2) kemiskinan keluarga dan banyaknya jumlah anak dalam keluarga, (3) keluarga pecah akibat perceraian, ketiadaan ibu dalam jangka panjang, atau keluarga tanpa ayah, (4) keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidakmampuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan atau anak lahir di luar nikah, (5) penyakit gangguan mental pada salah satu orang tua, (6) pengulangan sejarah kekerasan, yaitu orang tua yang dulu sering ditelantarkan atau mendapat perlakuan kekerasan kemudian memperlakukan anaknya dengan pola yang sama, dan (7) kondisi lingkungan sosial yang buruk dan keterbelakangan.

Lalu sebenarnya apa yang dimaksud dengan kekerasan pada anak itu?

Kekerasan pada anak atau child abuse adalah segala macam perilaku terhadap anak, baik berupa tindakan fisik, ucapan verbal, termasuk penelantaran (child neglect) terhadap anak yang menimbulkan dampak berupa cedera fisik atau emosi, baik yang berjangka pendek atau berkepanjangan.

“Jadi apapun tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa yang menyebabkan seorang akan menjadi sakit secara fisik maupun emosional bisa dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak,” jelas Seto.

Jika mau dikategorikan, kekerasan pada anak atau child abuse ada empat macam. Pertama emotional abuse, yaitu kekerasan yang terjadi ketika orang tua atau pengasuh atau pelindung anak mengetahui anaknya meminta perhatian namun justru mengabaikan anak itu. Kedua verbal abuse, terjadi ketika orang tua atau pengasuh atau pelindung anak mengetahui anaknya meminta perhatian namun justru menyuruh anak itu diam dan terus menerus menggunakan kekerasan verbal seperti “kamu cerewet,” “kamu pengganggu,” dan sebagainya.

Ketiga physical abuse, terjadi ketika orang tua atau oengasuh dan pelindung anak memukul, mencubit atau menjewer anak (melakukan tindakan fisik). Keempat sexual abuse, yaitu kekerasan seksual seperti pelecehan anak, pemerkosaan, dan sebagainya.

Komnas PA mencatat pada tahun 2003 terdapat 481 laporan kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah tersebut meningkat menjadi 547 laporan kasus kekerasan pada 2004, dengan 221 kasus merupakan kekerasan seksual, 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis dan 106 permasalahan lainnya.

Kemudian tahun 2005 meningkat menjadi 736 kasus kekerasan di berbagai daerah. Dari kasus tersebut, 327 kasus merupakan tindakan kekerasan seksual, 233 kasus secara fisik, 176 kasus secara psikis, dan 130 kasus penelantaran anak.

Laporan kasus tindak kekerasan pada anak meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Kak Seto –sapaan akrab-, ini bisa berarti kasus kekerasan memang terus meningkat atau, masyarakat sudah semakin sadar bahwa kekerasan pada anak itu tidak bisa dibenarkan sehingga mereka kemudian melapor.

Indonesia memang sudah mempunyai perangkat hukum yang melindungi anak, yakni UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang merupakan ratifikasi dari Konvensi Hak Anak (KHA), dan juga UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Meski demikian, implementasi dari UU tersebut masih belum optimal. Bahkan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum memiliki Peraturan Pemerintah (PP).

Jika kita ingin membandingkan dengan negara tetangga, Malaysia sejak awal 1990-an telah membentuk Suspected Child Abuse and Neglect Team (SCAN TEAM) yang keberadaannya diakui oleh seluruh jajaran pemerintahan sampai pada tingkat rukun tetangga, serta anggota timnya terdiri dari relawan masyarakat, pegawai kerajaan, angota kepolisian dan profesi kesehatan. Lalu Australia juga sudah memiliki Departemen of Children and Youth Affair.

Menurut Ketua Satuan Tugas Perlindungan dan Kesejahteraan Anak Pengurus Pusat Ikatan
Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) Indra Sugiarno, pemerintah seharusnya memosisikan anak sebagai objek pembangunan bangsa pada umumnya. “Pemerintah harus fokus untuk menjadikan anak sebagai salah satu tujuan pembangunan nasional. Artinya, manakala anak dijadikan tujuan pembangunan bangsa, maka hal-hal yang terkait dengan anak akan menjadi prioritas pemerintah,” jelas dokter yang juga staf pengajar Departemen Forensik FKUI.

Persoalan kekerasan memang menjadi concern kita semua. Sayangnya, menurut Indra, upaya pencegahan penggiat perlindungan anak banyak lebih ke arah hilir, bukan di hulu, jadi lebih yang sudah jadi korban. “Padahal seharusnya kita lebih menggarap yang belum jadi victim, yakni anak-anak dan pemenuh hak-hak anak. Caranya dengan edukasi tentang hak-hak anak,” ujarnya.

Senada dengan Seto, yang terpenting adalah bagaimana mengubah paradigma orang tua serta memberi edukasi dan pengetahuan untuk orang tua tentang pentingnya melindungi hak-hak anak sehingga kekerasan pada anak bisa dicegah.

Mengutip dari Finkelhor and Browne (1986), Lukas Mangindaan mengatakan dampak kekerasan pada anak dapat tertunda ke dalam usia dewasa, dengan gejala-gejalaberupa : (1) depresi, perilaku mencederai diri, kecemasan dan perasaan terasing, (2) rasa dirinya ada stigma dan rasa dirinya tidak adekuad (tidak memadai), kesukaran mempercayai orang lain, (3) kecenderungan melakukan hal yang sama pada orang lain,(4) penyalahgunaan zat dan gangguan dalam kehidupan seksual dan (5) pada banyak kasus penganiayaan seksual di masa kanak-kanak, dapat timbul gangguan disosiasi, misalnya kepribadian ganda.

Luar biasa, bukan? Bagaimana jadinya negeri ini kelak jika kekerasan pada anak masih
tetap terus dibiarkan. Mengutip Kak Seto, “Negeri ini akan hancur jika kita tidak melindungi anak dari kekerasan”.

‘Memangkas’ child abuse memang harus dilakukan oleh semua pihak. Ada baiknya pembenahan dilakukan di hulu sebelum berujung pada kehancuran sebuah bangsa. Sebab, bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai anak-anak… (Noprica Handayani)

Anak ‘Penggerak’ Roda Kehidupan?

Matahari sudah mulai beranjak naik ke puncak kepala. Sinarnya yang semula hangat kini perlahan menyengat. Sudah pukul sebelas siang. Beberapa jam sudah berlalu semenjak Novi (8 tahun) berangkat dari rumah selepas subuh tadi.

Novi loncat ke angkutan kota D03, jurusan Depok-Parung. Biasanya ia langsung menggoyang-goyangkan botol minuman berisi beras lalu bernyanyi. Tapi kali ini tidak. Ia menyodorkan tangan dan berkata, “Kak, minta uang, Kak..”

“Kamu tinggal di mana?”

“Di Lio,” jawabnya.

“Nggak sekolah?”

“Masuk siang,” jawabnya lagi.

Usai menggamit duit Rp 5.000, Novi lantas berkumpul dengan bocah pengamen lainnya pada sebuah bangunan di tengah terminal Depok. Setelah cukup beristirahat, ia kembali meloncati satu demi satu angkot. Hingga menjelang sore. Dan, ia tak jua berangkat ke sekolah.

Ia kemudian diberi uang lima ribu rupiah dan ngeloyor pergi menuju ke sebuah bangunan di tengah terminal. Bukan bangunan, sebenarnya. Hanya atap yang ditopang oleh tiang-tiang kayu, tempat beristirahat para supir angkot dan pedagang. Di situ menunggu temen-temannya yang lain. Ia menunjukkan uang yang ia dapat pada teman-temannya. Ia juga menunjuk orang yang memberi uang lima ribu rupiah itu. Seorang perempuan yang tampak seperti mahasiswa.

Menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), di Indonesia terdapat 1,6 juta anak-anak usia 7 hingga 12 tahun tidak bersekolah, seperti Novi. Sejak 1999, jumlah anak jalanan di Indonesia meningkat 85 persen, mengacu hasil survei Susenas.

Novi hanya dari sekian banyak anak yang bekerja sebagai pengamen atau pengemis. Ada Deden (9) yang juga biasa menjual suara di gerbong-gerbong kereta. Saban hari Deden juga berangkat selepas subuh. Siang itu Deden menyusuri gerbong KRL jurusan Bogor-Kota. Tak jarang, jika letih, Deden naik ke atas gerbong dan duduk di sana saat kereta berjalan. Meski berbahaya, Deden mengaku senang.

Bagaimana tidak, pendapatan hasil mengamennya saja minimal Rp50 ribu per hari. “Uangnya buat Bapak dan buat jajan,” katanya. Tidak buat bayar sekalah, Den? “Nggak, kata emak, ngapain sekolah. Sekolah mahal. Mendingan bantuin cari duit,” jawabnya polos.

Begitu pula nasib Rama Ramdi (9), warga miskin Depok. Sejak usia empat tahun ia mencoba mengais rezeki sebagai pengamen mengikuti ibunya, Rostinah (38). Dengan tergerusnya waktu, Rama Ramdi akhirnya belajar mengumpulkan kepingan-kepingan rupiah dari hasil mengamennya. Rata-rata Rama mendapat Rp 20.000 saban harinya. Lantaran masih belum cukup, Rostinah ‘mengutus’ anak pertamanya, Eni Sulastri (18), menjadi TKW di Kuwait, meski Eni harus kehilangan bangku kelas 3 SMP-nya saat itu.

Secara teoritis, membiarkan anak bekerja sebagai pengemis atau pengamen merupakan bagian dari eksploitasi, yakni memanfaatkan anak untuk mendapatkan keuntungan. Apakah anak ‘penggerak’ roda kehidupan?

“Itu jelas pelanggaran hak anak,” tutur Ketua SPK PPIDAI, dr Indra Sugiarno. Hanya saja, persoalannya tak sehitam-putih itu. (ica)


Agung Tak Khawatir Telepon Disadap

***Berita ini dah lumayan lama. Tapi tidak ada salahnya juga kalau di posting ;)***

Agung Tak Khawatir Telepon Disadap

Pembicaran telepon Artalyta Suryani (Ayin) dengan Urip Tri Gunawan disadap lagi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (10/6). Tindakan yang dilakukan KPK tersebut tak menimbulkan kekhawatiran Ketua DPR Agung Laksono.

”Ga perlu khawatir. Biarkan saja. Asal teleponnya tidak digunakan yang aneh-aneh. Saya kira mereka (KPK) juga tahu dengan tugasnya. Paling yang bermasalah saja yang disadap,” kata Agung kepada Kabar Indonesia di Jakarta, Jumat (18/7) siang.

Menyoal peristiwa penyadapan telepon tersebut, kata Agung, adalah suatu hal yang sangat memalukan. Dan, sebaiknya segera dipertanggung jawabkan. Mungkin saja, tambah Agung, hal serupa adalah cerminan bahwa selama ini komunikasi yang digunakan para tahanan biasa terjadi.

”Mungkin selama ini seringkali terjadi. Ini peristiwa yang memalukan dan merusak citra kepolisian. Di situ (kepolisian) ada kepala pimpinan yang bertanggung jawab. Jadi, apa yang ada dalam kepolisian, ya polisi yang bertanggung jawab.

Jadi, pertanggung jawabannya perlu? Ya, perlu dipertanggung jawab kan.

Perlu pembersihan sistem, ga pak? Ya, ini memang suatu keadaan yang menggambarkan bahwa selama ini citra dari aparat penegak hukum belum segalanya sesuai harapan masyarakat.di mana orang yang ditahan masih bisa berkomunikasi, bisa memberi kode-kode, sandi-sandinya sendiri, yang saya kira berarti sudah ada komunikasi yang intens sebelumnya. Jelas Agung, saat meninggalkan ruangan. (ica)