Sabtu, 18 April 2009

Anak ‘Penggerak’ Roda Kehidupan?

Matahari sudah mulai beranjak naik ke puncak kepala. Sinarnya yang semula hangat kini perlahan menyengat. Sudah pukul sebelas siang. Beberapa jam sudah berlalu semenjak Novi (8 tahun) berangkat dari rumah selepas subuh tadi.

Novi loncat ke angkutan kota D03, jurusan Depok-Parung. Biasanya ia langsung menggoyang-goyangkan botol minuman berisi beras lalu bernyanyi. Tapi kali ini tidak. Ia menyodorkan tangan dan berkata, “Kak, minta uang, Kak..”

“Kamu tinggal di mana?”

“Di Lio,” jawabnya.

“Nggak sekolah?”

“Masuk siang,” jawabnya lagi.

Usai menggamit duit Rp 5.000, Novi lantas berkumpul dengan bocah pengamen lainnya pada sebuah bangunan di tengah terminal Depok. Setelah cukup beristirahat, ia kembali meloncati satu demi satu angkot. Hingga menjelang sore. Dan, ia tak jua berangkat ke sekolah.

Ia kemudian diberi uang lima ribu rupiah dan ngeloyor pergi menuju ke sebuah bangunan di tengah terminal. Bukan bangunan, sebenarnya. Hanya atap yang ditopang oleh tiang-tiang kayu, tempat beristirahat para supir angkot dan pedagang. Di situ menunggu temen-temannya yang lain. Ia menunjukkan uang yang ia dapat pada teman-temannya. Ia juga menunjuk orang yang memberi uang lima ribu rupiah itu. Seorang perempuan yang tampak seperti mahasiswa.

Menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), di Indonesia terdapat 1,6 juta anak-anak usia 7 hingga 12 tahun tidak bersekolah, seperti Novi. Sejak 1999, jumlah anak jalanan di Indonesia meningkat 85 persen, mengacu hasil survei Susenas.

Novi hanya dari sekian banyak anak yang bekerja sebagai pengamen atau pengemis. Ada Deden (9) yang juga biasa menjual suara di gerbong-gerbong kereta. Saban hari Deden juga berangkat selepas subuh. Siang itu Deden menyusuri gerbong KRL jurusan Bogor-Kota. Tak jarang, jika letih, Deden naik ke atas gerbong dan duduk di sana saat kereta berjalan. Meski berbahaya, Deden mengaku senang.

Bagaimana tidak, pendapatan hasil mengamennya saja minimal Rp50 ribu per hari. “Uangnya buat Bapak dan buat jajan,” katanya. Tidak buat bayar sekalah, Den? “Nggak, kata emak, ngapain sekolah. Sekolah mahal. Mendingan bantuin cari duit,” jawabnya polos.

Begitu pula nasib Rama Ramdi (9), warga miskin Depok. Sejak usia empat tahun ia mencoba mengais rezeki sebagai pengamen mengikuti ibunya, Rostinah (38). Dengan tergerusnya waktu, Rama Ramdi akhirnya belajar mengumpulkan kepingan-kepingan rupiah dari hasil mengamennya. Rata-rata Rama mendapat Rp 20.000 saban harinya. Lantaran masih belum cukup, Rostinah ‘mengutus’ anak pertamanya, Eni Sulastri (18), menjadi TKW di Kuwait, meski Eni harus kehilangan bangku kelas 3 SMP-nya saat itu.

Secara teoritis, membiarkan anak bekerja sebagai pengemis atau pengamen merupakan bagian dari eksploitasi, yakni memanfaatkan anak untuk mendapatkan keuntungan. Apakah anak ‘penggerak’ roda kehidupan?

“Itu jelas pelanggaran hak anak,” tutur Ketua SPK PPIDAI, dr Indra Sugiarno. Hanya saja, persoalannya tak sehitam-putih itu. (ica)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar