Rabu, 06 Oktober 2010

“Hanya keadilan yang aku pinta, bukan belas kasih”

Indra Azwan (51), Mencari Keadilan dengan Berjalan Kaki dari Malang-Jatim, untuk Bertemu Presiden SBY

Lagi-lagi keadilan untuk rakyat kecil di negara ini kembali dipertanyakan. Kekuatan hukum seolah tidak berkutik bila dihadapkan pada kekuasaan. Seperti Indra Azwan yang sudah 17 tahun berjuang mencari keadilan untuk anaknya Rifki Andika, 12 tahun yang menjadi korban tabrak lari AKP Pol Joko Sumantri hingga tewas pada tahun 1993. Setelah berbagai perjuangannya tidak membuahkan hasil, baginya hanya presiden yang sanggup membantunya. Seperti apa perjuangan pria kelahiran Malang, 21 Desember 1959 ini hingga nekad ke Istana Negara untuk menemui presiden?

Anakku Rifki memang sudah 17 tahun lalu meninggal dunia. Tapi luka di hatiku tetap menganga lebar, bukan aku tidak ikhlas menerima takdir-Nya, tapi nyawanya seakan tidak berharga. Kali ini kesabaranku sudah habis! Aku harus mendapatkan keadilan, harus! Aku pikir, yang bisa membantuku hanya presiden, karena bagiku hukum tak pernah tegak dan seakan memperolok kami rakyat kecil.

Ini bukan kali pertama aku perjuangkan keadilan untuk anakku. Sudah puluhan kali aku berjuang, terhitung sejak anakku tewas pada 8 Februari 1993. Berbagai upaya pengaduan sudah aku lakukan. Mulai dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, LBH Jakarta, Komnas HAM, Kontras, Mahkamah Agung, dan Komisi Ombudsman. Namun dari tahun ke tahun rasa pilu dan kekecewaan yang bersemayam semakin menghantui tiap nafasku.

Hingga detik ini, belum ada tindak lanjut dari aparat penegak hukum untuk mencari kebenaran dan keadilan atas nyawa anakku. Tak patah arang, meski penengak hukum tidak tertembus, aku beranikan diri melaporkan masalah ini pada anggota komisi III DPR, Aziz Syamsuddin. Selain itu, aku juga melaporkan ke salah satu staf Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Masih lekat dalam ingatanku, saat itu satgas berjanji akan mengusut tuntas kematian anakku. Waktu berjalan, namun tidak juga ku terima kabar darinya. Sampai akhirnya, beberapa minggu yang lalu aku coba menghubunginya. Namun sungguh diluar dugaan, staf tersebut berkata, jika kasus anakku yang pernah mereka janjikan untuk diusut tuntas bukanlah urusan mereka. Dengan suara tegas dan keras, dia mengatakan jika kasus tabrak lari yang merenggut nyawa anakku adalah tugas Deputi Hukum. Mendengar kabar itu, lukaku bagai ditabur garam, perih sekali. Nyawa anakku dianggap bagai binatang. Rasanya apapun yang sudah aku lakukan, bagai setetes embun di pagi hari yang sesaat mengering di bawah teriknya mentari.

Memang aku adalah rakyat kecil yang sehari-harinya bekerja sebagai penjaja koran dan pemilik warung kopi dengan penghasilan rata-rata Rp 70 ribu per hari. Tapi apakah aku tidak pantas mendapat keadilan sebagai warga negara? Haruskah aku menunggu hingga ajal menjemputku? Aku tidak akan berhenti.

Kronologis. Peristiwa pilu itu, terjadi saat anakku tengah nyeberang dari arah Timur ke Barat sepulang dari belajar kelompok di rumah teman sekolahnya. Jaraknya sekitar 50 meter dari rumahku yang berada di jalan Letjen S Parman, Malang, Jawa Timur. Bagai petir di siang bolong, tak kuat kubayangkan bagaimana tragisnya dan kesakitannya anakku saat itu (terdiam sambil menahan isak tangis-red). Tiba-tiba dari arah Utara muncul dengan kecepatan tinggi mobil pribadi. Tak terelakkan, mobil tersebut langsung menabrak anakku hingga tewas. Anakku terluka parah, semua orang berusaha menolongnya. Sungguh tak sanggup bila ku ingat itu, tak ada yang mendampinginya meredam rasa sakit. Oh anakku maafkan bapak nak, karena tak ada di sampingmu saat itu. Betapa hebatnya mobil itu menghantam tubuh kecil anakku yang masih berusia 12 tahun, sampai-sampai lampu mobil sebelah kanan depannya pecah.

Menurut saksi mata, setelah menabrak anakku, mobil tersebut sempat berhenti sebentar, kemudian langsung kabur dengan kecepatan tinggi. Tapi untunglah warga yang melihat kejadian tersebut, langsung mencatat nomor polisi mobil itu dan mengejarnya. Ternyata mobil tersebut berhenti ke kantor Polwil Malang. Saksi mata yang mengikuti mobil itupun akhirnya menelusuri siapa pemilik mobil tersebut, yang sangat tega dan tanpa rasa kemanusiaan meninggalkan anakku yang tergeletak di tengah jalan dalam keadaan bersimbah darah dan tidak berdaya. Usut punya usut, mobil tersebut dikendarai seorang anggota kepolisian yaitu Joko Sumantri yang saat itu masih berpangkat AKP dari Polwil Malang.

Sungguh malang nasib anakku, sebelum tiba di Rumah Sakit Saiful Anwar, Malang, Jawa Timur, ia telah menghembuskan nafas terakhirnya. Hatiku saat itu sangat hancur. Aku seperti orang kesetanan dan mempertanyakan hal ini pada Tuhan. Andai saja aku menemaninya belajar kelompok, andai saja aku ada disisinya, andai saja aku orang pertama yang menolongnya, mungkin saat ini Rifki telah memberiku seorang cucu dan selalu menemaniku mendaki gunung. Astagfirullah, tak kuat hatiku jika dihantui rasa bersalah ini. Tak hanya rasa bersalah pada diriku yang bertahun-tahun ku pendam, aku juga merasa bersalah pada mantan istriku, ibu kandung Rifki, Nurqasanah yang saat itu berada di Jakarta dengan keluarga barunya.

Proses Hukum. Ironisnya , oknum yang menabrak anakku hingga tewas tersebut sepertinya sulit tersentuh hukum. Bayangkan, aku berjuang sejak tahun 1993 namun sampai saat ini belum ada titik terang. Tahun 2004, aku daftarkan perkara ini ke Pengadilan Tinggi Militer. Tapi karena tersangka tersebut (Joko Sumantri –red) sedang naik pangkat maka Pengadilan Militer Tinggi tidak bisa menerima perkara ini. Berkas perkara pun diminta untuk diperbaiki dan dikembalikan ke kepolisian, selanjutnya dikirim kembali ke kejaksaan. Tahun berganti tahun, hingga akhirnya ada secercah harapan untuk mendapatkan keadilan bagi anakku. Tahun 2008, sidang perkara anakku pertama kali digelar.

Sungguh aneh, saat sidang digelar, aku tidak diperbolehkan masuk dan hanya boleh menunggu di luar. Aku lebih heran lagi saat diujung proses sidang, hakim memutuskan bahwa AKP Pol Joko Sumantri bebas dari dakwaan dengan alasan kasus ini sudah kadaluwarsa alias basi. Ketika ku tanya hakim tentang keputusannya, dengan mudahnya ia mengatakan kalau dia hanya menyidangkan saja. Rasa sakit hati ini semakin dalam, dan aku baru percaya ternyata memang ada mafia-mafia peradilan dan hukum di Indonesia. Sepertinya seluruh institusi hukum di Indonesia hanya mengobral janji untuk rakyat kecil.

Pernah juga aku mengirim surat ke Kompolnas dan Gubernur PTIK, namun tidak juga ku dapat respon positif. Begitu pun dengan lembaga-lembaga penegak hukum yang lain. Oleh karena itu, aku mencoba untuk bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono demi keadilan hukum anakku, dengan nekad berjalan kaki dari Malang-Jawa Timur ke Istana Negara, Jakarta.

Perjalanan.
Hanya dengan berbekal semangat dan keberanian, aku putuskan pada 8 Juli 2010 untuk melangkahkan kaki dari kota Malang menuju Jakarta. Sepertinya ini adalah cara terakhirku agar dibukakannya pintu kebenaran dan keadilan hukum bagi kami rakyat kecil. Sungguh, 17 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mendapatkan keadilan. Perjuanganku selama ini sepertinya sia-sia, rasanya sangat susah dan rumit hukum di negara ini.

Aku sadari, perjalanan yang mesti aku tempuh dengan berjalan kaki dari Malang hingga Istana Negara, Jakarta, akan banyak rintangannya. Misalnya cuaca atau kondisi kesehatanku yang sudah tidak muda lagi. Namun semuanya tidak menyurutkan niat awalku untuk mencari keadilan. Setelah berdiskusi panjang lebar dengan keluarga, keluargaku pun menyetujuinya dengan syarat harus membawa handphone. Dengan membawa uang Rp 500 ribu, lima stel pakaian, dua pasang sepatu, tiga pasang kaus kaki, peta, dan beberapa surat izin long march juga spanduk untuk dipasangkan di depan dan di belakang badan, selama dalam perjalanan, aku mulai berjalan kaki dari Malang menuju Jakarta.

Dari Malang, kota pertama yang aku tempuh adalah Sidoarjo. Setelah itu menyusul Surabaya, Lamongan, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, Semarang, Pekalongan, Cirebon, Jatibarang, Kerawang, Bekasi, hingga tiba di Jakarta setelah 22 hari berjalan.
Alhamdulillah, selama di perjalanan aku tidak mendapatkan kendala yang cukup berarti. Malah banyak yang bersimpati bahkan memberi makan, minum, dan tempat untuk istirahat sejenak meski kadang hanya sekedar foto. Setiap harinya, perjalanan aku mulai setelah salat Subuh sekitar pukul 05.30 WIB hingga pukul 21.00 WIB. Namun jika sampai pukul 21.00 WIB aku belum mendapatkan SPBU, aku akan terus berjalan hingga menemukan “hotel” SPBU untuk istirahat tidur. Untuk makan sehari-hari, biasanya berhenti di warteg. Bagiku sehari cukup makan dua kali, sarapan dan sore hari.
Yang dikhawatirkan oleh keluargaku selama perjalanan tidak terjadi. Allahu Akbar, aku tidak sakit selama perjalanan. Hanya saja kulit di kedua telapak kakiku sudah kapalan dan kuku jari manis kakiku mau copot. Namun sakit ini bukanlah sakit yang serius, seserius keadilan yang aku perjuangkan.

Tunggu Maaf Pelaku. Aku begini bukan berarti aku mengharapkan dana ataupun belas kasihan dari siapapun. Tujuanku hanya satu. Aku ingin ditemui Presiden SBY, bila ditemui yang lain aku tidak mau. Aku sudah pesimis dengan penegakan hukum di Indonesia. Sebagai masyarakat kecil, aku menganggap kekuatan hukum saat ini hanya berpihak kepada orang-orang yang berduit saja. Di sini, aku hanya mengharapkan keadilan hukum anakku yang menjadi korban tabrak lari oleh seorang oknum polisi yang hingga kini, sedikit pun tidak tersentuh hukum. Pelaku pun belum pernah mengucapkan permintaan maaf kepada ku dan keluarga besar ku. Memang aku rakyat kecil, tapi apakah aku tidak pantas untuk mendapatkan keadilan dan menyampaikan keluh kesahku kepada Presiden? Pak Presiden, dengarkanlah jeritan rakyat kecil ini, sudah 17 tahun perjuanganku demi nyawa anakku tercinta.

Sepuluh Kali Mogok Makan di Istana

Aku sangat menikmati perjalanan sepanjang jalan Pantura yang aku lewati. Hingga setibanya aku di Cikampek, banyak simpatisan dan relawan, baik dari campuran semua gank motor dan Arema ikut berjalan. Alhamdulillah, tepat sekitar pukul 14.40 WIB, Jumat, 30 Juli 2010, aku tiba di Jakarta dan langsung mendatangi LBH Jakarta setelah 22 hari berjalan kaki dari rumahku yang berada di Jalan Watu Genok Barat, Blimbing, Malang, Jawa Timur.

Tanpa berpikir panjang, akupun segera memberi kabar kepada istriku, Bety Benartiyani melalui sambungan telepon. Setelah itu, barulah aku melanjutkan perjalanan dari LBH Jakarta menuju Istana Negara. Dari LBH Jakarta yang berada di Jalan Mendut, aku didampingi beberapa relawan. Aku berjaln dengan rute Menteng, Bundaran Hotel Indonesia (HI), hingga Jalan Medan Merdeka Barat. Sepanjang perjalanan menuju Istana Negara, aku mulai dikawal oleh polisi bermotor, tepatnya sejak aku melakukan orasi sekitar 10 menit di Bundaran HI.

Tapi sayang, sesampainya di Istana Negara sekitar pukul 17.00 WIB, rencana menggelar aksi ketika presiden keluar dari Istana digagalkan oleh polisi. Pasalnya perizinan untuk menggelar aksi tersebut katanya, tidak memungkinkan. Setelah satu jam berada di depan Istana, sekitar pukul 17.50 WIB, belum juga ada tanda-tanda presiden akan menemuiku. Dengan hati yang letih, akupun beranjak pergi dan kembali ke LBH Jakarta.
Tiga hari kemudian, Senin (2/8) siang, aku kembali mendatangi Istana, setelah sebelumnya aku datang ke Wisma Nusantara untuk datang di salah satu program acara berita dan bertemu dengan Staf Khusus Presiden SBY di bidang hukum, Denny Indrayana.

Di Istana, aku hanya ingin menyampaikan langsung kepada Presiden SBY mengenai masalah yang aku alami. Sebetulnya, sudah lima kali aku menyurati Presiden SBY, namun tidak ada tanggapan. Selain itu, pernah juga aku melakukan beberapa aksi agar bisa bertemu dengan presiden. Kali pertama sekitar tahun 2006. Pada 31 Agustus 2009, aku juga pernah melakukan aksi demonstrasi seorang diri dan mogok makan di depan Istana Negara dan di depan kediaman Presiden SBY di Cikeas, Jawa Barat.

Namun saat itu, perjuanganku untuk bertemu presiden SBY belum membuahkan hasil. Aksi mogok makan pun terus berlanjut pada tanggal 2 November sampai 13 November 2009 di depan Monumen Nasional. Mungkin sudah ada 10 kali aku datang ke Jakarta dan melakukan aksi demonstrasi, mogak makan hanya untuk bertemu Presiden SBY.
Tanggal 25 April 2010 aku kembali mencari keadilan hukum untuk anakku dengan melakukan demo seorang diri di depan kediaman SBY di Cikeas. Nihil juga hasilnya, akhirnya aku menitipkan surat untuk Presiden. Hingga kini aksi nekad yang sudah berpuluh kali aku lakukan tersebut, belum juga mendapatkan respon dari Presiden SBY. Noprica Handayani

Satu Jam Bertemu Presiden

Sudah sepekan lebih aku berada di Jakarta, sepertinya lelah perlahan mulai menyapaku. Seakan asa semakin redup, aku putuskan pada hari Minggu (8/8) adalah hari terakhirku memberikan orasi atas keadilan hukum anakku dengan berjalan kaki dari LBH Jakarta Pusat ke Ragunan, Jakarta Selatan. Sepulang dari sana, akupun mulai membereskan segala perlengkapan untuk pulang ke Malang.

Sesungguhnya dengan berat hati, Senin (9/8) siang, aku akan beranjak meninggalkan Jakarta dengan melangkahkan kaki ke stasiun Senen. Dan setiba di sana aku langsung beli tiket kereta jurusan Malang. Setelah beberapa jam menunggu kereta datang, handphone yang berada di saku ku bergetar. Saat kulihat, penelpon tersebut tak lain adalah Sekretaris Satgas Antimafia Hukum, Denny Indrayana, orang yang selama ini membantuku untuk menyampaikan keinginannku untuk bertemu Presiden dan juga memperjuangkan keadilan almarhum Rifki. Di ujung telepon, Denny mengatakan jika Presiden ingin bertemu hari Selasa (10/10) sekitar pukul 15.30 WIB. Dan ia menyarankan jika pemberangkatan aku yang tinggal menunggu beberapa jam lagi dibatalkan. Dan kembali ke LBH Jakarta sebelum keesokan harinya bertemu Preiden SBY.
Sungguh di luar dugaan, aku hanya bisa mengucapkan syukur Alhamdulillah, walaupun setelah 17 tahun berjalan dan dengan perjuangan nekadku jalan kaki dari Malang ke Istana Negara, akhirnya Presiden SBY mau menemui aku yang sudah renta dan penuh dengan peluh keringat ini.

Masih bagaikan mimpi serta jantung yang makin berdegub kencang, akupun mulai mengenakan setelan batik abu-abu putih lengan panjang yang saya padu dengan celana berbahan kain. Tidak ada yang tampak berbeda dari awal penampilanku sebelumya, aku masih berambut gondrong dengan rambut kukuncir ke belakang.

Ah, akhirnya tepat sekitar pukul 15.45 WIB aku tiba di komplek taman Istana Negara. Akhirnya aku bertemu Presiden. Dia Presiden SBY yang selama ini sangat ingin aku temui . Dengan hati yang sangat terharu aku menyampaikan dan mengeluarkan segala uneg-uneg kepada Presiden. Usai menyampaikan segala permasalahan hukum yang menimpa anakku, lalu Presiden mengajak aku berjalan keliling di Istana Negara.

Banyak hal yang Presiden ceritakan dalam perbincangan kurang lebih sekitar satu jam lamanya. Mulai dari penjelasan banyak gedung di sekitar Istana, Istana Merdeka dan Istana Negara. Tak lupa, selain itu Presiden juga mengatakan jika mengenai permasalahan hukum anakku, beliau memberi wewenang hukum kepada Menteri hukum dan HAM, Patrialis Akbar dan Sekretaris Satgas Antimafia Hukum, Denny Indrayana. Saat itu juga turut menemani Menteri Sekretaris Negara, Sudi Silalahi, serta Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha.

Hari itu, merupakan hari emas dalam hidupku. Tadinya aku yang hendak pulang dengan hati yang tergores pilu, disembuhkan meski hanya berlangsung selama satu jam bertemu SBY. Aku sadar, jika mengungkap proses hukum itu tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan, tapi pasti melewati berbagai proses. Karena banyak jenderal yang terlibat di dalamnya. Untuk itu, seperti disampaikan Presiden untuk perkembangan kasus anakku akan berjalan setelah Hari Raya Idul Fitri 1431 H, nanti. Aku pegang apa yang telah disampaikan Presiden. Yang penting proses jalan terus. Noprica Handayani

“Aku ingin Presiden tahu dan mendengar suara rakyat kecil”

Susi Haryani, Ibu Ridho Januar, Korban Ledakan Tabung Gas Elpiji 3 Kg yang Nekat ke Istana Negara

Program konversi minyak tanah ke bahan bakar gas atau elpiji 3 Kg sudah banyak menelan korban. Salah satunya, seorang anak berusia 4,5 tahun asal Bojonegoro bernama Ridho Januar yang menjadi korbannya. Parahnya luka bakar yang menimpa Ridho, tidak membuat luka bakar itu sembuh meski sudah dirawat tiga bulan di RSUD dr. Soetomo, Surabaya. Kini bagaimana kondisi Ridho?

Sudah empat bulan lamanya aku dihantui perasaan bersalah. Pilu di hatiku tak kunjung redup tiap kali melihat wajah dan tubuh anakku, Ridho Januar, yang melepuh akibat luka bakar ledakan tabung gas elpiji 3 kg pada 27 Maret 2010. Hari itu seakan mimpi buruk yang tak ingin aku ingat saat aku terjaga. Dadaku pun terasa sesak bila bila tiap kali mendengar rintihan Ridho karena merasakan gatal, panas dan sakit di sekujur wajah, kedua tangan, dan kedua kakinya.

Mungkin ini memang salahku, tapi ini bukan kehendakku. Seutuhnya aku sangat menyayangi ketiga anakku, Rizki (10 tahun), Ridho (4,5 tahun), dan Dede (4,5 bulan). Aku merasa bersalah pada diriku, terutama mantan suami keduaku, Maman Suherman, ayah kandung Ridho. Karena baru tiga bulan, sejak Januari 2010, Ridho tinggal bersamaku, sepulang aku dari Malaysia pada pertengahan 2009 sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Rasanya aku telah menghancurkan masa depan anakku. Jika waktu bisa diulang, aku ingin mengembalikan Ridho pada mantan suamiku saat itu juga.

Kronologis. Kejadian pagi itu sangat cepat dan tidak terduga. Sekitar pukul 06.30 WIB saat Ridho dan suami ketigaku masih terlelap dalam tidur, aku berniat menghangatkan sisa nasi goreng yang aku beli semalam untuk sarapan pagi Ridho dan suamiku.

Awalnya aku tidak merasakan firasat apa-apa. Sekejap setelah aku berdiri, aku langsung menghidupkan kompor gas elpiji 3 kg yang biasanya aku gunakan untuk memasak. Sungguh pagi itu aku tidak mencium bau gas dan tidak mengetahui jika tabung elpiji yang aku pakai bocor. Karena hari-hari sebelumnya, saat aku menggunakan kompor gas tersebut, tidak ada masalah. Namun pagi itu beberapa kali aku coba menghidupkannya, apinya tidak menyala. Sementara aku yakin kalau tabung gas yang aku beli di warung empat hari lalu belum habis.

Seperti biasa, jika kompor sulit aku hidupkan, biasanya aku sulut dengan pemantik api. Hal yang sama aku lakukan pada hari itu. Sekali, dua kali, tiga kali, keadaan masih baik-baik saja. Namun saat aku coba yang keempat kalinya, tiba-tiba kompor gasku langsung meledak. Gumpalan api memenuhi ruangan berukuran 3x4 meter persegi di rumah kontrakan tempat aku tinggal. Karena atap kontrakan terbuat dari beton, dengan cepat api menyambar seisi rumah. Seandainya kontrakanku tidak hanya satu ruangan yang digunakan multifungsi sebagai dapur, ruang tidur, dan ruang keluarga, mungkin Ridho tidak merasakan langsung panasnya api dari ledakan gas.

Aku yang saat itu sedang kalut dan merasakan panasnya disambar api, langsung mencari jalan keluar untuk menyelamatkan diri. Begitu juga suamiku yang langsung berdiri dan lari saat mendengar ledakan gas. Setelah berada di luar rumah, dengan nafas terengah-engah dan jantung yang berdegup kencang, aku berteriak minta tolong sekuat tenaga saat teringat Ridho masih berada di dalam rumah. Saat itu aku seperti hilang kesadaran melihat api yang berkobar dan rintihan tangis Ridho karena kepanasan.

Meski saat itu aku tengah hamil 9 bulan, aku berusaha untuk kembali menerobos api yang melalap ruangan sempit yang sudah aku tempati selama delapan bulan tersebut. Begitupun dengan suamiku. Namun, karena kondisi api yang semakin membesar dan pintu menjadi sulit dibuka, kami pun tidak dapat menerobos masuk ke dalam.

Syukurlah pertolongan dari para tetangga cepat berdatangan. Mereka langsung menolong aku, suamiku, dan Ridho yang ada di dalam rumah sekitar 10 menit dengan keadaan api yang besar. Kami langsung diantar ke rumah sakit. Meski kedua tangan, kaki, serta muka sangat perih dan panas aku rasakan ketika menuju rumah sakit, mungkin tidak seperih dan sepanas yang Ridho rasakan. Luka bakar yang aku alami hanya 15 persen, suamiku tak lebih dari 10 persen, sedangkan Ridho hampir 80 persen.

Sungguh aku merasa sangat bersalah bila mengingat kejadian itu. Aku tidak tega melihat Ridho yang terus-menerus menangis karena kepanasan. Sungguh ini semua di luar batas kemampuan dan ketidaksengajaanku. Kini rumah kontrakan yang beralamat di Jalan Basuki Rahmad, Gang Musa, Kelurahan Mojokampung, Kota Bojonegoro, Jawa Timur, bagaikan mimpi buruk bagiku. Meski aku tidak memiliki rumah dan kini aku berjuang hidup tanpa suamiku, aku tidak akan kembali lagi untuk selamanya ke Bojonegoro.

Aku tidak tahu mesti berbuat apalagi untuk kesembuhan anakku. Saat melihat Ridho bermain di halaman rumah dan diolok-olok teman-teman seusianya karena kulit wajah, tangan serta kaki Ridho yang tidak lagi normal, hatiku sangat teriris. Sebagai orangtua, aku tidak sanggup melihat kenyataan pahit yang dialami anakku. Aku tidak menyalahi takdir Allah, bila ini adalah jalan hidup yang harus aku jalani. Tapi kenapa tabung gas elpiji 3 kg itu seolah-olah tidak bersalah dengan “merenggut” keceriaan Ridho untuk menggapai masa depannya. Tabung itu bagaikan “terorisme” gaya baru yang sasarannya masyarakat kecil.

Terlintas di ingatanku, jika tabung gas elpiji 3 kg itu adalah program pemerintah yang bekerjasama dengan Pertamina. Bahkan belum lama ini, pemerintah mengatakan ada produk baru tabung gas elpiji yang akan diuji keamanannya dan setelah itu baru diberikan kembali kepada masyarakat. Namun hingga kini semua itu hanya sebatas wacana. Jaminan keamanan yang dielu-elukan pemerintah, nyatanya sudah lebih dulu “merenggut” kebahagiaan masa kecil dan masa depan anakku.

Mengetuk Istana. Ingat program ini adalah program pemerintah, aku pun teringat Istana Negara dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Demi memperjuangkan kesembuhan anakku, hanya dengan berbekal uang tabungan seadanya, aku memberanikan diri ke Jakarta untuk masuk ke Istana dan bertemu Presiden SBY. Aku tidak peduli meski hal ini tidak disetujui ayah kandung Ridho, Maman, saat aku hubungi melalui telepon.

Malam itu, Minggu, 18 Juli 2010, aku dan Ridho meninggalkan kota Bojonegoro. Dengan menggunakan bus umum dari Terminal Rajekwesi, Bojonegoro, menuju Terminal Lebak Bulus di Jakarta Selatan. Sesampai di Jakarta aku menuju ke Tangerang untuk menumpang tinggal dengan salah satu anggota keluargaku.

Senin (19/7) pagi, aku kembali melanjutkan perjalanan ke Istana Negara. Namun sebelum ke Istana, aku menuju ke Wisma Nusantara untuk menemui salah satu kru TVOne. Namun sesampai di sana, ternyata program “Apa Kabar Indonesia Pagi” sudah bubar. Lalu aku disarankan ke Pulau Gadung, kantor redaksi TVOne. Saat itu, Matahari bersinar terik. Aku tidak ingin perjuanganku hari itu sia-sia. Dari Wisma Nusantara, aku putuskan untuk tidak mengadukan aspirasiku ke televisi itu, melainkan sesegera mungkin menuju Istana Negara.

Setelah bertanya-tanya, aku disarankan untuk menggunakan jasa bus Trans Jakarta menuju Istana Negara. Sesampainya di feeder busway Harmoni, aku langsung turun dan jalan kaki menuju Istana. Memang cuaca Jakarta jelang siang saat itu terasa sangat terik. Ridho tak henti-hentinya merengek dan menyuruh duduk untuk istirahat karena capek. Meski baru sebentar berjalan dari halte Harmoni, melihat wajah dan mendengar keluhan Ridho, akhirnya ia aku gendong. Dalam dekapan gendong menuju Istana, kutahan agar air mata tak menetes di pipiku.

Sekitar pukul 13.00 WIB, akhirnya aku tiba di halaman gedung Sekretariat Negara. Sudah dua jam lamanya aku berharap bisa bertemu Presiden SBY untuk meminta bantuan tindak lanjut pengobatan luka bakar yang diderita anakku. Sempat saat itu aku disuruh pergi oleh seorang pria yang mengenakan safari di lingkup Istana Presiden, namun aku bersikukuh tidak akan pergi sebelum ada kepastian dan penanggulangan untuk kesembuhan Ridho.

Memang tidak semua orang memiliki hati yang hitam. Alhamdulillah, para awak media yang berada di lingkup Istana Negara saat itu peka terhadap nilai sosial dan kemanusiaan. Mereka menghampiri aku, bertanya, sekaligus memberikan bantuan secukupnya dari saku mereka. Tak lama setelah itu, aku pun dihampiri salah satu Staf Rumah Tangga Istana Kepresidenan. Dengan perintah dari Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, aku dan Ridho dibawa ke kantor Pertamina Pusat di Jalan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, dengan menggunakan kendaraan khusus. Setibanya di sana, aku dan Ridho diajak ke lantai 22 oleh pihak Pertamina. Mereka mengatakan jika hal ini sudah dikoordinasikan ke Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih.

Usai bertemu pihak Pertamina, aku diajak kru TVOne untuk siaran langsung di salah satu program beritanya. Di tengah perjalanan menuju kantor TVOne, tiba-tiba aku dihubungi salah seorang profesor yang bekerja di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Profesor tersebut mengatakan jika pihak RSCM akan menangani perawatan untuk kesembuhan luka bakar Ridho.

Perawatan. Mungkin tindakanku ini tergolong nekat. Tapi aku sudah tidak tahu mesti kemana lagi harus mencari bantuan untuk pengobatan Ridho. Sejak aku sudah tidak bekerja sebagai TKI di Malaysia, aku tidak lagi memiliki pekerjaan.

Simpati yang mengalir dari berbagai pihak saat aku dan Ridho berada di Komplek Istana Negara, cukup melegakan hati ku. Akhirnya untuk perawatan kesembuhan, Ridho dirujuk ke RSCM. Sebelumnya, pasca ledakan aku dan Ridho dirawat di RSUD dr Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro. Namun karena Ridho mengalami luka bakar yang cukup serius, maka Ridho langsung dirujuk ke RSUD dr Soetomo di Surabaya selama tiga bulan, yaitu 27 Maret 2010 sampai 27 Juni 2010. Selama di sana Ridho telah menjalani lima kali operasi pencangkokan kulit di wajah, tangan, dan kaki. Adapun total biaya perawatan Ridho selama di RSUD dr Soetomo, yaitu Rp 70 juta. Sedangkan selama aku di RSUD dr Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro menghabiskan Rp 20 juta untuk perawatan luka bakar di tangan dan kaki serta persalinan anak ketigaku, Dede, setelah sehari pasca ledakan. Memang total biaya semuanya itu sangat besar. Tapi syukurlah, masih ada masyarakat yang tulus memberi bantuan untuk biaya perawatan selama aku dan Ridho di rumah sakit. Selain itu, kami juga dimudahkan dengan menggunakan surat miskin serta surat keterangan Jamkesmas.

Di RSCM, Ridho di tempatkan di Unit Pelayanan Khusus Luka Bakar Prof. Dr. Munadjat Wiratmadja. Meski selama aku menemani Ridho mendengar sindiran tak enak dari beberapa perawat, tapi tidak sedikit dokter spesialis yang menangani Ridho. Salah satunya dokter Aditya Wardhana, dokter spesialis bedah plastik. Menurut dokter Aditya, pengobatan terhadap Ridho diperkirakan membutuhkan waktu selama satu tahun. Ini lantaran luka Ridho tidak sebatas luka di kulit saja, tapi sudah mengenai daging bagian dalam. Oleh karena itu, Rabu, 21 Juli 2010, aku diberi edukasi pelatihan pemakaian pressure garment dan silicon gelshuit untuk nanti perawatan di rumah.

Memang selama di RSCM belum ada pembicaraan serius dengan dokter mengenai operasi plastik untuk anakku. Yang ada saran untuk menggunakan silicon gelshuit yang dilapisi oleh pressure garment, selanjutnya akan dipantau pekembangannya enam bulan ke depan. Kata dokter yang menangani Ridho, silicon gelshuit ini akan membantu mengurangi efek luka bakar dan mempercepat penyembuhan luka. Untuk itu, minimal satu bulan sekali Ridho harus check up ke rumah sakit. Sedangkan pressure garment adalah sejenis stocking yang membalut silicon gelshuit, yaitu dipakai minimal delapan jam, bisa dilepas jika akan mandi dan sholat, kemudian harus diganti yang baru kembali.
Meski sudah diperbolehkan pulang (Kamis, 22 Juli 2010) dan kontrol setiap pekannya ke RSCM, jujur aku agak kagok untuk pemakaian silicon gelshuit dan pressure garment ini. Aku juga khawatir akan kesterilan pemulihan kondisi Ridho saat di rumah adikku di Cikupa, Tangerang. Tapi kalau memang Ridho diharuskan rawat jalan, tidak mungkin aku memaksa untuk tetap bertahan.

Saat ini kondisi Ridho sudah lebih baik. Rasa panas sudah tidak lagi dirasakannya, sedang rasa gatalnya sudah berkurang. Luka bakar pada bagian tangan dan kaki mulai mengering. Sedang pada bagian lainnya, masih dalam proses penyembuhan. Aku pun dengan rajin memberikan silicon gekshuit dan pressure garment.

Harapan. Tentu aku sangat senang saat Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih menjenguk serta membawakan mainan berupa mobil-mobilan dan kereta api untuk anakku. Meski ada yang beranggapan bahwa aku mendatangi Istana Negara, Senin, 19 Juli 2010, hanya untuk mencari sensasi, aku tidak perduli. Memang aku tidak memungkiri, jika kadang aku sangat sedih saat mendengar sindiran itu. Orangtua mana yang tega menyiksa anak kandung sendiri demi mencari sensasi? Justru aku mengharapkan tidak terjadi sesuatu terhadap anakku. Seandainya saat menghangatkan nasi goreng untuk sarapan pagi waktu itu tidak menjadi musibah bagiku, mungkin aku tidak akan nekat mendatangi Istana Negara untuk bertemu Presiden SBY.

Aku hanya ingin Presiden tahu dan mendengar suara rakyat kecil korban tabung gas elpiji yang merupakan program pemerintah. Buatku, musibah ini tidak hanya sebatas cacat fisik Ridho, tapi juga cita-citanya yang ingin menjadi polisi atau dokter. Aku ingin Ridho bisa bermain, tertawa, dan sekolah seperti anak yang lain.

Dalam kesempatan ini, aku ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh masyarakat Indonesia yang telah ikhlas menyumbang dana pengobatan Ridho melalui TVOne. Jumlah uang sebesar Rp 162 juta yang terkumpul dalam rekening Bank Mandiri, akan aku gunakan untuk meneruskan pengobatan Ridho. Aku juga ingin mengucapkan terima kasih pada TVOne karena telah membantu proses pembayaran administrasi pengobatan anakku selama di RSCM, saat Ridho keluar dari rumah sakit, Kamis, 22 Juli 2010. Selain itu aku juga berterimakasih kepada dengan 11 kuasa hukum yang dengan sukarela membela kepentingan dan hak hukum anakku. Noprica Handayani

Menjaga Vagina dari Keputihan yang Berlebihan

Cairan pada vagina yang ditandai dengan jumlah cairan yang sedang, berwarna bening, tidak bau, dan tidak disertai rasa gatal, merupakan tanda-tanda normal bagi kaum wanita. Jika keluarnya cairan berlebihan pada vagina dengan warna cairan bervariasi , bau, dan terasa gatal, maka Anda perlu waspadai!

Vagina adalah organ intim kewanitaan yang merupakan saluran berbentuk seperti tabung “selongsong” yang menghubungkan vulva (bagian luar sistem reproduksi wanita) ke uterus (rahim). Vagina berfungsi sebagai saluran ekskresi cairan terutama darah haid, sebagai alat untuk melakukan hubungan seksual, dan jalan untuk keluarnya janin dari hasil pembuahan sel telur dengan sperma saat melahirkan. Selain itu, vagina juga dapat mengeluarkan cairan–cairan khas yang merembes keluar sekitar mulut vagina dan itu adalah normal.

Normalnya cairan atau sekret pada vagina diproduksi dalam jumlah yang sedang, berwarna bening, tidak bau, dan tidak disertai rasa gatal. Namun, dalam keadaan tertentu, jumlah cairan ini bisa bertambah atau berkurang seiring dengan naik turunnya kadar hormon estrogen (hormon seks wanita). Pengeluaran cairan yang jumlahnya agak banyak tetapi normal atau yang biasa disebut dengan sekret fisiologis, bisa terjadi karena adanya rangsangan seksual, ovulasi (pelepasan sel telur) atau menjelang menstruasi, dan kehamilan. Peningkatan sekret vagina seperti ini masih dianggap normal selama tidak ada gejala lain yang mengganggu kenyamanan pada daerah kewanitaan tersebut. Jika keluarnya cairan berlebihan pada vagina dengan warna cairan bervariasi, bau, dan terasa gatal, maka Anda perlu waspadai!

Secara alami, vagina memiliki pelindung yang disebut dengan pH (derajat keasaman). Normal pH pada vagina adalah 3,5 – 4,5 pH. Namun pH ini bisa rusak dan menimbulkan berbagai keluhan bila cara merawatnya salah. Terlalu seringnya membersihkan vagina dengan sabun pencuci kewanitaan atau ramuan rempah pewangi, justru dapat merusak pH-nya.

Sebagai wanita, kebersihan vagina perlu dijaga dengan baik. Tidak disarankan untuk menggunakan bahan-bahan yang dapat mengiritasi kulit vagina. Misalnya dengan menggunakan sabun khusus kewanitaan yang berparfum atau vaginal douches (cairan pembersih vagina). “Perlu diingat, bahwa vagina memang memiliki bau khas yang sebenarnya tidak mengganggu sepanjang vagina itu sehat dan tidak ada penyakit,” kata seksolog dari Min Klinik, dr. Ferryal Loetan, ASC & T, SpRM, MKes.

Penyebab.
Menurut dokter dari ahli kebidanan dan kandungan, RSPP Jakarta, dr. Erwinsyah H. Harahap, SpOG, MKes kepada Femme, pekan lalu, keputihan terbagi menjadi dua macam, yaitu fisiologis dan patologis. Fisiologis adalah cairan atau sekret pada vagina yang banyak mengandung epitel dengan leukosit yang jarang. Sedangkan patologis, cairan yang mengandung lebih banyak leukosit. Adapun ciri masing-masing sekret ini berbeda-beda. Pada sekret fisiologis, cairan yang keluar tidak bau, tidak gatal, warnanya bening, putih, dan jumlah cairan yang dikeluarkan tidak berlebihan. Sedangkan sekret patologis, cairan yang keluar bau, vagina terasa gatal, mengalami perubahan warna menjadi putih kekuning-kuningan, putih kehijau-hijauan dan jumlah cairan yang dikeluarkan berlebihan.

Dari kedua jenis keputihan tersebut, tambah dokter spesialis kulit, kelamin, dan kosmetik medik, dr. Tri Wilujeng Prihartini, SpKK, yang menimbulkan masalah dan menyebabkan kelainan adalah sekret patologis. Dimana sekret patologis pada vagina tersebut infeksi yang disebabkan karena kuman, parasit, virus, dan jamur.

Adapun keputihan yang disebabkan oleh jamur, lebih sering dialami adalah jamur jenis Candida Albicans. Candida Albicans adalah flora normal pada vagina. Faktor sehari-hari juga dapat menjadi faktor predisposisi keputihan karena candida seperti pakaian dalam terbuat dari bahan nilon, jeans yang terlalu ketat, tisu toilet yang berparfum, serta penggunaan antibiotika dan obat-obat tertentu.

Selain itu, kata dr. Tri, infeksi tidak terjadi karena jamur, kuman, parasit, dan virus saja tetapi bisa juga disebabkan karena benda asing, gangguan hormonal, kelainan pada alat kelamin, serta kanker pada leher rahim. Iritasi pada vagina biasanya ditandai dengan rasa perih, meradang, merah, terasa gatal, panas, dan bengkak. Hal ini disebabkan karena keringat berlebih, gesekan pada celana yang ketat, garukan kuku, menggunakan sabun yang berlebih, dan cairan pembersih kewanitaan.

Ditambahkan dr. Tri, yang menyebabkan vagina mengeluarkan cairan berlebihan tidak seperti biasanya, seperti bau, warna yang tiba-tiba berubah, gatal, bukan dipicu oleh faktor makanan seperti timun atau nanas melainkan karena pengaruh stres fisik, kelelahan, dan infeksi.

Selain itu, sering bertukar celana dalam atau handuk, seks bebas, sering mandi berendam dengan air hangat, tidak segera mengganti pembalut saat menstruasi, dan tidak menjalani pola hidup yang sehat seperti makan tidak teratur, tidak pernah berolahraga, kurang tidur juga bisa menjadi penyebab keputihan. Biasanya keputihan yang ada pada bibir vagina itu disebabkan karena jamur. “Tapi kebanyakan wanita beranggapan mereka keputihan bukan karena jamur,” terang dr. Tri.

Risiko. Menurut dr. Erwin, bila keputihan yang berlebih tidak segera diobati, bisa mengakibatkan iritasi lokal ringan, dan dalam jangka waktu yang panjang akan menimbulkan penyakit radang panggul serta dapat menyebabkan kemandulan (infertilitas) karena kerusakan dan tersumbatnya saluran sel telur. “Jadi, bila mengalami keputihan tidak seperti biasanya, lebih baik berkonsultasi ke dokter spesialis kulit dan kelamin atau ke dokter spesialis kandungan,” terang dr. Erwin.

Penanganan. Keputihan merupakan masalah higienitas, dan penanganan keputihan tersebut tergantung dari penyebabnya. Biasanya dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengatahui penyebabnya. Cara mencegah keputihan salah satunya dengan menjaga kebersihan vagina, misalnya membersihkan bagian luar vagina dengan air bersih dan air sabun saja, menghindari penggunaan vaginal dounching (cairan pembersih kewanitaan) secara rutin, maupun produk hygiene wanita lain seperti desinfektan, bahan pengering atau pengencang vagina, tidak memakai jeans terlalu ketat, celana dalam bukan dari bahan katun, tisu toilet yang berparfum, bila keputihan banyak yang keluar sebaikya menggunakan panty liner dan tiap 3 jam sekali diganti.

Sementara dr Ferry menambahkan mencuci vagina sebaiknya dilakukan mengarah ke anus. Usai dicuci harus dikeringkan atau mengganti celana dalam yang bersih. Bila tidak, vagina yang basah dan lembab tersebut dapat merangsang tumbuhnya jamur, bakteri, dan kuman,” jelas dr. Ferry. Noprica Handayani

“Suamiku tumbal konflik petinggi di Artha Graha”

Tyas Rumanti, Istri Aan, Korban Penganiayaan Polisi dan Oknum Petinggi Artha Graha Group

Banyaknya dugaan rekayasa dan kejanggalan-kejanggalan saat proses hukum di persidangan membuat kita kembali bertanya-tanya, adakah keadilan bagi rakyat kecil? Seperti yang dialami Susandi alias Aan, staf keuangan PT Maritim Timur jaya (MTJ), di Gedung Artha Graha tiga bulan yang lalu. Berawal dari konflik yang terjadi antarpetinggi Artha Graha Group, David Tjioe dan Ronny Brata Wijaya. Karena Aan bekerja pada masa kepemimpinan David Tjioe dan berhubungan baik, Ronny mengira Aan adalah orang kepercayaan David yang mengetahui banyak hal mengenai David. Berdasarkan dugaan inilah Aan akhirnya beberapa kali diinterogasi dan yang terakhir interogasi disertai kekerasan fisik. Tidak cukup sampai di situ, oleh pihak Artha Graha, Aan dijebak dengan Narkoba yang sebelumnya ditaruh di dompetnya saat ia ditelanjangi di kantor tersebut. Tadinya kasus ini seperti dipetieskan oleh kepolisian, maklum pemilik Artha Graha selama ini diketahui dekat dengan jajaran Kepolisian. Allah Maha Besar, ketika ada LSM yang membantu istri Aan untuk melaporkan kasus ini ke Satgas Mafia Hukum, sehingga kasus ini bisa terangkat ke permukaan. Bagaimana cerita sebenarnya versi istri Aan? Berikut curahan hatinya pada Femme!

Aku merasakan ketakutan yang sangat hebat saat menerima SMS dari suamiku, Susandi atau yang biasa aku panggil Aan, pada hari Senin (14/12/09), sekitar pukul 18.00 WIB. “Sayang, cepat jemput aku di kantor. Aku takut,” bunyi SMS Aan saat itu. Tak lama setelah membaca SMS dari suamiku, detak jantungku kian kencang. Aku gelisah dan serba salah. Sejenak aku mencoba untuk menenangkan diri saat azan Maghrib berkumandang. Lalu ku teguk secangkir air putih untuk membasahi tenggorokanku yang kering setelah menjalani puasa sunah Senin – Kamis.

Usai sholat Maghrib, Aku langsung beranjak menuju kantor suamiku yang bertempat di gedung Artha Graha tak jauh dari kantorku di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Sebelumya, aku sudah merasakan firasat tidak enak sejak pukul 06.30 WIB, saat aku menemani suamiku untuk sarapan pagi sebelum berangkat ke kantor. Sempat aku nyatakan perasaanku ini padanya, namun dengan cepat Aan menghiburku.

Semestinya hari itu, Senin (14/12), suamiku sudah tidak lagi bekerja di PT Maritim Timur Jaya (MTJ). Karena pada tanggal 25 November 2009, semua karyawan di perusahaan tersebut sudah di PHK (Pemutusan Hak Kerja) secara massal termasuk Direktur Utamanya, David Tjioe, tak terkecuali suamiku.

Namun berhubung posisi Aan di MTJ di bagian keuangan, maka Aan harus menyelesaikan filing (berkas-berkas) atau koordinasi administrasi terkait dengan tanggung jawab kerjanya. Setelah semua tugas Aan selesai, tak lama kemudian Aan didatangi tiga orang Polda Maluku.

Sementara itu, siang sekitar pukul 12.00 WIB, saat aku sedang makan siang, hatiku semakin berdebar kencang dan gelisah. Sejak dari pagi tadi tubuhku terasa lemas dan tidak fokus dalam menyelesaikan pekerjaan. Sesaat aku menenangkan piranku dengan meyakinkan diriku kalau semua ini hanya perasaanku saja dan mungkin juga karena pengaruh puasa yang aku jalani tanpa makan sahur.

Meski demikian, aku terus meng-SMS suamiku untuk mengingatkan makan siang dan bertanya bagaimana keadaan dia dan sedang mengerjakan apa. Tak lama, setelah Aan membalas SMSku dan mengetahui dia baik-baik saja, aku pun merasa sedikit lega.
Namun setelah dua jam berlalu, suamiku mengirim SMS dan mengatakan dia diinterogasi lagi oleh Polda Maluku dengan penyidik yang berbeda. Perlu diketahui, sebelumnya suamiku sudah dua kali diinterogasi oleh pihak Polda Maluku, yaitu pada tanggal 7 dan 11 Desember 2009, terkait kasus kepemilikan Narkoba David Tjioe, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT MTJ (PT MTJ milik Grup Artha Graha beroperasional di Daerah Maluku-red). Siang itu, untuk ketiga kalinya Aan menjalani interogasi tanpa adanya surat keterangan dari pihak kepolisian Maluku.

Tak lama kemudian, suamiku mengirim SMS lagi padaku agar segera dijemput di kantornya. Sesegera mungkin, setelah berbuka puasa dengan segelas air putih dan sholat Magrib, aku langsung ke kantor suamiku. Dalam perjalanan hingga sesampainya di kantor Aan, aku terus berusaha untuk menghubungi dan mengirim SMS padanya. Namun tidak sekalipun Aan membalas atau mengangkat teleponku.

Satu jam sudah aku menunggu Aan di ruang resepsionis, namun belum juga ada kabar dari Aan. Aku pun bertanya ke Vini, salah satu resepsionis MTJ yang aku kenal. Kata Vini, saat itu Aan masih meeting.

Penuh keheranan, aku bertanya pada diriku sendiri. “Sejak kapan Aan meeting hingga pukul 8 malam. Padahal biasanya paling lama hanya sampai pukul 5 sore saja,” pikirku tambah cemas. Aku hanya bisa berdoa dan meminta pada Allah, agar suamiku dalam keadaan baik-baik saja.

Namun aku semakin ketakutan saat aku mendengar suara bentakan yang sangat keras dan pukulan meja, dari balik tembok triplek ruang resepsionis. Tubuhku bergetar hebat, aku khawatir dan takut terjadi apa-apa pada Aan, mengingat kondisi Aan pada Jumat (11/12) malam setelah dilakukannya interogasi kedua, ia selalu bolak-balik buang air kecil dan merasakan kurang enak badan.

Di tempat yang sama, Hendra, salah satu Office Boy di MTJ meminta Aku untuk berdoa dan sabar. Namun sepertinya mereka tidak peduli bagaimana perasaan yang ku rasakan saat itu. Detak jantung semakin kencang dan lututku lemas. Saat itu, rasanya aku ingin sekali teriak dan menerobos masuk ke ruang rapat tersebut. Namun niat itu aku urungkan kembali. Pikirku kalau saja memang meeting beneran, aku sudah mempermalukan diri sendiri dan suamiku di dalam forum.

Pukul 20.00 WIB, sempat aku disarankan pulang oleh Indrayanto, salah satu atasan keuangan Aan di MTJ melalui teleponnya pada Hendra. Tapi aku tidak mempedulikannya. Aku banyak melihat orang-orang ber-face Ambon, keluar masuk ruangan meeting di kantor pusat PT MTJ di gedung Artha Graha. Sekitar pukul 21.00 WIB, lampu mati dan masih di tempat yang sama, Aku disapa oleh seorang pria. Ternyata pria itu adalah Sunggul Sirait, orang yang pernah diberi kuasa sebagai pengacara oleh suamiku. Namun karena gelap dan hanya ada cahaya redup dari lampu dinding, Aku tidak begitu ngeh kalau itu Bang Sunggul.

Satu jam kemudian, sekitar pukul 22.00 WIB, Bang Sunggul keluar dan ia tidak mengatakan apapun selain pamit pulang. Tak lama setelah itu aku ditemui Glen, teman satu kantor Aan. Mungkin Glen melihatku lelah, sehingga akupun diberinya jajanan ringan. Pikirku saat itu, Glen adalah orang yang baik dan salah satu teman dekat Aan di kantor. Ternyata dugaanku salah, Glen adalah salah satu saksi yang memberatkan suamiku di persidangan sebelumnya. Sampai sekarang aku tidak habis pikir kenapa Glen mau bersaksi palsu untuk memberatkan kasus suamiku di persidangan i. Memangnya suamiku punya salah apa?

Malam semakin larut, jarum jam sudah menunjukkan angka 12. Ku lihat ada beberapa orang bertubuh besar datang dan masuk ke ruang meeting suamiku, yang tak lain polisi dari Polda Metro Jaya. Dengan perut kosong dan mata yang sedikit berat, kembali kutanyakan keberadaan suamiku pada Hendra, OB tadi. Namun, tak ada sedikit pun rasa keprihatinan yang ku lihat dari wajahnya. Ia terlihat asyik nonton TV dengan dua orang lainnya yaitu Nanang, sopir operasional MTJ dan Glen. “Kalau mau nunggu, nunggu aja, Mbak. Saya ini juga capek, dari kemarin belum pulang!,” bentak OB itu dengan nada kesal. Menerima jawaban yang tak mengenakkan itu Aku semakin takut. Ketegaran yang aku miliki sejak 6 jam sebelumnya seperti gunung es yang mencair.
Tapi aku harus kuat, aku harus bertemu suamiku malam ini juga. Sambil terus berdoa, tak lama kemudian ku lihat sosok suamiku dari balik pintu dengan menggunakan pakaian yang sedikit berantakan. Ia keluar dengan dikawal satu orang pria. Aku langsung berdiri dan menyapa suamiku. Tapi Aan seolah-olah tidak mendengar dan melihat. Dia terus berjalan dengan kepala tertunduk ke arah toilet. Melihat itu, jantungku rasanya mau copot. Ada apa dengan suamiku? Wajah yang ku lihat ceria pagi tadi, malam itu seperti orang ketakutan dengan wajah pucat pasi. Saat itulah Aku baru tahu kalau di ruang meeting, Aan diinterogasi dan “dikeroyok” banyak orang.

Lima menit kemudian Aan keluar dari dalam toilet, sambil melangkah masuk ke ruangan tadi. Ia tetap tidak menyapa bahkan tidak melirik sedikitpun ke arahku. Sebagai seorang istri, aku bisa merasakan ketakutan yang luar biasa pada suamiku. Saat itu, rasanya tubuhku lemas lunglai. Ku usap air mata di kedua kelopak mataku agar tidak jatuh menetes.

Setelah tujuh jam lamanya aku menunggu, tepat pukul 01.30 WIB, akhirnya Aan keluar juga. Betapa kagetnya aku saat itu. Aku melihat suamiku dengan wajah lebam, jidat benjol dan kedua tangan di borgol. Sambil mendekat Aan berkata “Aku ditahan”. Seperti tersambar petir, aku hanya bengong setengah tidak percaya. Bagaimana bisa suamiku yang aku kenal tidak neko-neko dan taat beribadah, ditahan.

Suamiku pun digiring ke bawah. Aku hanya bisa terduduk diam dan membisu. Melihat sikapku, salah satu pria berkulit hitam itu menyuruhku pulang. Memang aku terlihat seperti orang kebingungan. Tak lama handphone-ku bergetar. Aku menerima SMS dari suamiku. “Aku tunggu di lobi bawah. Aku takut, kamu ikut ke Polda Metro Jaya ya,” pinta Aan padaku.

Akhirnya dini hari itu, dengan menggunakan mobil Honda Jazz berwarna silver, aku berhasil meminta petugas kepolisian untuk ikut bareng suamiku ke Polda. Masih teringat jelas diingatan, di dalam mobil, kami berjumlah 5 orang. Aku duduk di depan sebelah Agus yang mengendarai mobil, sedangkan suamiku duduk di belakang dan diapit oleh Kompol Apollo Sinambela dan Agung yang duduk di sebelah kiri. Mereka semua adalah dari pihak kepolisian Polda Metro Jaya yang datang pada pukul 24.00 WIB ke Gedung Artha Graha.

Setibanya di Polda Metro Jaya dan di ruang kerja Apollo pada Selasa (15/12/09) pukul 02.00 WIB, Aku melihat jelas kondisi tubuh suamiku. Ia terlihat sangat trauma dengan kepala benjol dan bibir bawah bagian kanan terlihat darah membeku. Aku berusaha untuk tidak menumpahkan air mata di pipi walau tenggorokan mulai nyesek dan hatiku sangat teriris. Aku merasakan kedua tangan suamiku dingin dan gemetar hebat saat kedua tangannya memegang tangan kiriku. Setelah Aan sedikit tenang, pelan-pelan Aan menceritakan semua kejadian selama ia diinterogasi di gedung Artha Graha lantai 8 dari pukul 14.00 WIB hingga Selasa (15/12) dinihari pukul 02.00 WIB pagi.

Kronologis. Setelah menyelesaikan tugas filing keuangan di kantor, pada pukul 14.00 WIB, Aan ditemui oleh Viktor B Laiskodat, Komisaris Utama PT Maritim Timur Jaya, bersama tiga orang polisi dari Ditreskrim Polda Maluku yaitu Kombes Pol Jhon Siahaan, Ipda Jhoni dan Brigadir Obed serta dua penyidik lainnya. Setelah bertemu, Aan dibawa ke ruang meeting yang berada di lantai 8 gedung Artha Graha. Lalu Aan disekap, ditelanjangi oleh salah satu Polda Maluku, dan hanya memakai celana dalam.

Di dalam ruang tersebut, Aan diinterogasi dan diminta sebagai saksi terkait dugaan kepemilikan senjata api (senpi) ilegal dari mantan pimpinan MTJ, David Tjioe, oleh Viktor B Laiskodat dan disaksikan tiga anggota Polda Maluku (Jhon Siahaan, Ipda Jhoni dan Brigadir Obed –red) sedangkan dua penyidik yang lain berada di luar.
Aan yang saat itu menolak dan mengatakan tidak tahu apa-apa mengenai kepemilikan senpi tersebut, mendapat bogem mentah di wajah dan kepalanya . Tak puas sampai di situ, dada suamiku ditendang. Ternyata pada pukul 12 malam di ruang resepsionis saat aku bertemu Aan yang hendak ke toilet, Aan sudah mendapatkan kekerasan fisik dengan pukulan dan tendangan. Agar semuanya terlihat tidak terjadi apa-apa, sebelum ke luar dan menuju toilet Aan diminta menggunakan pakaian dan tidak diperbolehkan menyapaku. Mendengar pengakuan itu tubuhku lemas, namun aku berusaha tegar di hadapan suamiku yang terlihat seperti orang paranoid dan trauma hebat.

Dengan mulut yang sulit digerakkan, lalu Aan kembali berusaha menceritakan kejadian pahit itu. Saat tubuh suamiku sudah tak berdaya dan terasa remuk, dengan menodongkan pistol di kepala, Viktor masih saja memaksakan Aan sebagai saksi dan menanyakan di mana senpi yang dimiliki David Tjioe disembunyikan. Padahal saat itu, Aan sudah mengatakan bahwa senpi dititipkan ke Salim, adik dari David Tjioe. Namun Viktor tidak percaya begitu saja, Viktor beranggapan bahwa suamiku adalah orang kepercayaan David dan tahu banyak mengenai David. Memang saat di kantor, Aan dekat dengan David, tapi itu semua hanya sebatas pekerjaan. Suamiku hanya karyawan biasa seperti yang lain dan tidak ada perlakuan khusus.

Setelah selesai Viktor menginterogasi, sekitar pukul 00.30 WIB, dua orang anggota kepolisian dari Polda Metro Jaya yaitu Apollo dan Agung masuk ke dalam ruangan dan menginterogasi suamiku dengan alasan yang berbeda. Saat menginterogasi, mereka mengatakan bahwa menemukan serbuk yang diduga ekstasi di dalam dompet suamiku. Dan saat itulah suamiku ditetapkan sebagai tersangka kasus kepemilikan narkoba.

Bagiku tuduhan yang dikenakan itu tidaklah masuk akal. Karena Minggu (13/12) malam sebelum kejadian Aan sempat minta uang padaku sebanyak Rp 300 ribu dan meminta aku untuk memasukkannya ke dalam dompet. Aan juga tidak pernah sekalipun keberatan jika aku memeriksa isi dompetnya. Jadi aku mengetahui pasti apa saja yang ada di dalam dompet suamiku. Bagiku, tuduhan pihak kepolisian tersebut tidak masuk akal, aku tidak percaya. Suamiku bagaikan tumbal konflik internal petinggi MTJ di gedung Artha Graha yang menjulang tinggi di kawasan Sudirman, Jakarta.

Diteror. Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran salah satu petinggi di gedung Artha Graha itu. Masih dalam keadaan hati dan pikiran yang “kacau”, aku dan mertuaku diteror melalui telepon. Mereka mengancam kalau Aan tidak akan bebas dan dijatuhi hukuman 12 tahun penjara jika tidak memberi tahu semua rahasia David Tjioe.

Setelah menerima teror, Ibu Mertuaku yang saat itu sedang sakit, langsung shocked dan ketakutan. Aku pun sampai saat ini, seperti orang autis, tidak berani mendengar berita televisi. Aku masih sangat parno dan takut tiap kali berangkat ke kantor. Pasalnya gedung di tempat aku bekerja saat ini berhadapan dengan gedung Artha Graha. Untunglah ada seorang teman perempuan yang baik dan mau pulang berangkat kerja bareng. Bila dia cuti, dia mencarikan seorang teman untuk menemaniku.

Pernah aku mencoba untuk resign tapi tidak diijinkan Direkturku. Atasanku mengatakan jika aku harus terus survive meski suami saat ini sedang bermasalah, berada di tahanan dan tidak memiliki pekerjaan. Dia pun memberikanku dispensasi jika tidak masuk ke kantor karena mengurus proses hukum suamiku. Dengan catatan tidak menyelesaikan pekerjaan.

Pasrah. Dengan kejadian ini, aku tidak menyalahkan takdir Tuhan. Aku hanya bisa pasrah dan berdoa untuk kebebasan Aan. Aku percaya kebesaran Allah SWT di balik semua ini. Walau bobot tubuhku sudah turun 7 kg dari 52 kg, Aku tidak pernah menampakkan wajah lelah dan sedih di depan Aan. Aku selalu memberi semangat dan cerita lucu. Selama di tahanan, aku dan Aan selalu bertukar buku harian. Terakhir isi buku harian yang ditulis Aan berbunyi, ‘Semoga Allah SWT mengizinkan kita untuk berkumpul lagi, memiliki keturunan dan membina rumah tangga yang lebih baik lagi’.

Memang aku selalu berusaha terlihat tegar di hadapannya, tapi sesampainya di rumah, di dalam kamar Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak tega melihat suamiku yang sudah terlihat kurus di dalam jeruji besi. Apalagi jika aku merapikan baju Aan di dalam lemari dan melihat tempe orek makanan kesukaannya di rumah.

Terus terang aku benci sekali dengan Apollo yang menuduh bahwa aku dan Aan hidup senang dengan banyak mobil dan uang miliaran. Padahal aku dan Aan masih tinggal di rumah orangtua dan hanya memiliki motor Honda Mega Pro saja. Sempat Aku berpikir, kenapa ada orang yang tidak memiliki hati nurani seperti Viktor dan Polda Maluku dengan tega menyakiti dan menganiaya suamiku yang hanya karyawan biasa. Selain itu Aku juga masih menaruh kebencian dengan Kismadi, salah satu polisi di Polda Metro Jaya yang berlagak baik dan kebapakkan. Pasalnya Aku sangat tahu, pada hari Selasa (15/12/09) sekitar pukul 06.00 WIB bahwa Kismadi-lah yang membawa dan menyuruh suamiku dalam keadaan tidak berdaya untuk menandatangani banyak berkas yang tidak diperlihatkan apa isi dari berkas tersebut. “Maaf, ya, bu, saya hanya menjalankan tugas,” jawab Kismadi saat ku tanya kenapa tega berbuat itu.

Anak Asuh. Saat ini yang selalu ada dalam pikiran Aan adalah nasib ke 58 anak asuhnya yang ada di Jakarta. Karena Aan adalah salah satu pengurus dan orang kepercayaan donatur dari beberapa kalangan artis. Aku yang sudah berusaha menghubungi beberapa donatur tersebut, tidak bisa berbuat apa-apa. Aku juga mulai bingung, karena sisa tabungan Aan dari uang pesangon PHK sebanyak Rp 30 juta kini tinggal Rp 5 juta. Padahal uang tersebut hanya aku gunakan untuk kebutuhan sehari-hari selama tiga bulan terakhir, membayar asuransi dan membayar tagihan kartu kredit, serta bolak-balik mengurus proses hukum Aan.

Harapan. Ternyata benar, Allah Maha Mendengar dan tidak tidur. Aku sangat terharu dan senang karena masih ada orang yang baik dan peduli dengan keadaan suamiku. Selain dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Komisi Yudisial, beberapa pengacara, ada 28 orang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang bersedia melindungi dan menerima kuasa hukum untuk suamiku.

Terutama Edwin Partogi, seorang Aktivis Kontras dari Divisi Politik, Hukum dan HAM juga sebagai senior Aan saat masih aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Selain itu, Aan juga kenal baik dengan keluarga Edwin. Makanya saat sidang kelima kemarin, Aku sempat stres. Karena sakit, Bang Edwin berhalangan hadir. Sebab dengan adanya Bang Edwin cukup melegakan hati dan membuat kami tenang.

Aku menyadari bahwa kasus yang dialami Aan ini melibatkan “orang besar”. Namun Aku percaya di atas “orang besar” masih ada “orang besar” lain lagi. Dengan bukti-bukti dan saksi yang lemah untuk menyudutkan suamiku saat di persidangan, aku berharap hasil sidang lanjutan nanti membebaskan Aan dari segala tuntutan hukum. Dan aku bersama Aan kembali menjalani kehidupan rumah tangga seperti biasanya, serta dapat merealisasikan rencana bulan madu ke Bali dan Lombok yang sejak awal pernikahan belum sempat terwujud, karena Aku dan Aan disibukkan dengan pekerjaan kantor yang menumpuk. Noprica Handayani

Mengenai Asam Urat

Konsumsi Seafood, Makanan Kaleng, dan Jeroan, Berisiko Tinggi Terserang Asam Urat

Penyakit asam urat ternyata sangat terkait dengan pola makan. Jika Anda penggemar makanan seafood seperti udang, kepiting, kerang, atau makanan kaleng seperti kornet, atau aneka jeroan seperti hati, usus, ampela, kemungkinan besar Anda sudah terserang penyakit asam urat. Apalagi, jika Anda seorang pria berusia di atas 40 tahun, paling rentan terkena penyakit yang menyerang persendian ini. Apa saja penyebab, gejala, dan cara mengatasinya?

Penyakit asam urat adalah penyakit yang menyerang sendi dan tendon yang disebabkan timbunan asam urat yang berlebih dan membentuk kristal. Ginjal adalah organ yang mengatur kestabilan kadar asam urat dalam tubuh dan akan membawa sisa asam urat ke pembuangan air seni. Namun jika kadar asam urat itu berlebihan, ginjal tidak akan sanggup mengaturnya sehingga kelebihan itu akan menumpuk pada jaringan dan sendi, membentuk kristal. Kandungan asam urat yang tinggi menyebabkan nyeri dan sakit di persedian yang amat sangat. Sendi-sendi yang diserang terutama sendi jempol kaki, engkel kaki, pergelangan kaki, tumit, lutut, siku. Selain nyeri, penyakit asam urat juga dapat membuat persendian membengkak, meradang, panas dan kaku.

Penyebab. Asam urat adalah suatu zat dari hasil metabolisme bahan pangan yang mengandung purin (salah satu bagian dari protein). Karena itu, kadar asam urat dalam diri seseorang sangat berhubungan erat dengan makanan yang dikonsumsinya. Maka, hindarilah mengonsumsi makanan yang mengandung kadar purin tinggi, seperti minuman fermentasi dan mengandung alkohol; udang, tiram, kepiting, kerang; berbagai jenis makanan kaleng seperti sarden, kornet sapi; berbagai jeroan seperti hati, ginjal, jantung, otak, paru, limpa, usus; buah-buahan tertentu seperti durian, alpukat dan es kelapa.

Menurut dr Cosphiadi Irawan, SpPD, KHOM, dari RSCM, makanan yang bersumber dari produk hewani biasanya mengandung purin yang sangat tinggi. Jika mengonsumsi makanan ini tanpa perhitungan, jumlah purin dalam tubuh dapat melewati ambang batas normal. “Sayangnya, fakta ini masih belum diketahui masyarakat secara luas. Akibatnya banyak orang suka menyamaratakan semua makanan tanpa mempertimbangkan kandungan di dalamnya,” jelas dr. Cosphiadi. Kadar asam urat yang normal pada pria adalah 3,5-7 miligram per desiliter (mg/dl) dan pada perempuan 2,6-6 mg/dl.

Kelebihan asam urat atau hyper uricemia disebabkan karena produksi asam urat meningkat atau pengeluaran asam urat oleh ginjal menurun. Hyper uricemia terdiri dari dua macam, yaitu primer dan sekunder. Pada hyper uricemia primer, ginjal yang berfungsi menyaring kotoran dari darah dan mengeluarkan hasil metabolisme dalam bentuk urine, tanpa sebab yang jelas menurun kemampuannya untuk mengeluarkan asam urat dari tubuh. “Nah, hasil metabolisme yang akan dikeluarkan oleh ginjal tadi terserap lagi oleh sel-sel ginjal yaitu tubulus,” jelas dr. Cosphiadi. Hyper uricemia primer diduga karena kelainan ginjal yang juga berkaitan dengan kombinasi faktor genetik (turunan) dan faktor enzim yang menyebabkan gangguan metabolisme seingga mengakibatkan meningkatnya produksi asam urat. “Sebenarnya yang mengalami hyper uricemia primer ini makannya normal, tapi entah kenapa kemampuan pengeluarannya tidak bagus. Dan sebagian besar biasanya faktor genetik sangat berperan pada penderita asam urat,” terang dr. Cosphiadi.

Sedangkan hyper uricemia sekunder disebabkan karena berbagai faktor patologis, yaitu gangguan fungsi ginjal, karena penyakit ganas seperti tumor, kanker, leukemia atau penyakit-penyakit sel darah yang cepat membelah dirinya yang mana terjadi produksi sel darah berlebih, karena obat-obatan (obat kanker dan Vitamin B12), obesitas (kegemukan), dan meningkatnya produksi asam urat karena nutrisi, yaitu mengonsumsi makanan dengan kadar purin yang tinggi. “Kalau penyebab asam uratnya jelas itu berarti hyper uricemia sekunder,” kata dr. Cosphiadi.

Hal senada juga diungkapkan oleh dr. Titi Sekarindah, SpGK dari Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Menurutnya, pengeluaran asam urat menurun biasanya terjadi pada penyakit ginjal atau pada pemberian obat-obatan tertentu. Kadar asam urat tinggi dapat menyebabkan penimbunan kristal asam urat pada cairan sendi yang nantinya dapat menimbulkan penyakit gout arthriteis (radang sendi) dan penimbunan asam urat dalam ginjal yang dapat menyebabkan batu ginjal. “Yang bikin orang ketakutan jika mengalami asam urat yaitu menumpuknya asam urat pada sendi-sendi yang berbentuk semacam benjolan atau bisul yang berisi kristal asam urat disebut Thopi,” kata dr. Titi.

“Kalau tidak diobati akan sakit terus. Pada kondisi tertentu masa bebas sakitnya makin lama makin pendek, biasanya mengalami satu tahun sekali bisa berkurang menjadi delapan bulan sekali, enam bulan sekali dan seterusnya,” jelas dr Cosphiadi.

Gejala. Gejala khas penyakit asam urat adalah serangan bersifat monoartikular (menyerang pada satu sendi saja) berupa pembengkakan, kemerahan, nyeri hebat, panas, dan mengganggu pergerakan sendi. Bahkan saat tidur akan merasakan sakit walau hanya terkena selimut.

Ada tiga tahapan serangan penyakit asam urat. Tahap pertama yaitu gout arthriteis akut, penderita akan merasa nyeri yang hebat pada persendian dan serangan itu akan menghilang tanpa pengobatan dalam waktu 5 – 7 hari. Karena cepat menghilang, sering penderita menduga kakinya keseleo atau kena infeksi dan tidak melakukan pemeriksaan lanjutan. Setelah serangan pertama, penderita akan mengalami gout interkritikal, di mana penderita akan sehat dalam jangka waktu tertentu yang berkisar 1 – 2 tahun sehingga penderita menduga serangan pertama dahulu tak ada hubungannya dengan penyakit gout arthriteis akut.

Tahap kedua disebut sebagai tahap gout arthreteis akut intermiten yaitu penderita akan seing mendapatkan serangan (kambuh) yang jarak antara serangan yang satu dan serangan berikutnya makin lama makin rapat dan lama, serangan makin lama makin panjang, serta jumlah sendi yang terserang makin banyak. Tahap ketiga disebut sebagai tahap gout arthreteis kronik bertophi. Tahap ini terjadi bila penderita telah menderita sakit selama sepuluh tahun atau lebih. Pada tahap ini akan terjadi benjolan-benjolan di sekitar sendi yang sering meradang. “Tophi pada kaki bila ukurannya besar dan banyak akan mengekibatkan penderita tidak dapat menggunakan sepatu lagi,” kata dr. Cosphiadi.

Lebih Banyak Pria. Umumnya yang mengalami penyakit asam urat adalah pria, sedangkan perempuan persentasenya lebih kecil dan baru muncul setelah masa menopause. Kadar asam urat pada pria cenderung meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.

Asam urat lebih banyak dialami pria karena tidak memiliki hormon estrogen seperti pada perempuan. Hormon ini membantu pembuangan asam urat melalui urine. Jadi, selama seorang perempuan mempunyai hormon estrogen, maka pembuangan asam uratnya ikut terkontrol. Ketika sudah tidak mempunyai hormon estrogen seperti saat menopause, barulah perempuan terkena asam urat.

Dr. Titi menambahkan, yang mengalami asam urat biasanya pada usia 40 tahun ke atas. Namun sebenarnya, pada usia 40 tahun ke atas tersebut adalah dampak yang ditimbulkan karena tingginya kadar asam urat yang sudah menumpuk atau mengendap di sendi yang mengalami inflamasi atau penekanan sejak 20 tahun sebelumnya. “Jadi, kita harus jaga asam uratnya agar tidak tinggi. Karena kalau tinggi nanti akan mengalami gout arthreteis,” jelas dr Titi.

Penanganan. Penanganan yang paling efektif adalah mengurangi konsumsi makanan yang mengandung purin tinggi, dan minum air putih yang dapat membantu mempercepat pengeluaran asam urat. Sebaiknya minum air putih 2 liter sehari atau setara dengan 8 gelas. Bila sudah terjadi gout arthtereis disarankan hanya mengonsumsi makanan golongan C (lihat sidebar). Bila perlu minum obat Allopurinol, dan gunakan obat untuk mengurangi rasa sakit yaitu Non Steroid Anti Inflamasi Drug (NSAID).

Juga perbanyak olahraga, hindari stress, melakukan diet seimbang dengan pola makan yang seimbang yaitu terdiri dari protein 15 persen, karbohidrat 50 – 60 persen, sayuran golongan B maksimal 2 kali seminggu, lemak kurang dari 30 persen, lalu menurunkan berat badan secara bertahap bagi penderita yang terlalu gemuk, karena bila penurunan berat badan dilakukan secara drastis dapat menyebabkan kenaikan kadar asam urat. “Tapi berdasarkan hasil survei, minum air putih dua gelas sebelum makan akan menurunkan berat badan,” terang dr Titi. Noprica Handayani

Golongan Makanan Berdasarkan Kandungan Kadar Purin

Makanan yang sebaiknya dihindari adalah makanan yang banyak mengandung purin tinggi. Berikut adalah penggolongan makanan berdasarkan kandungan purin:

1.Golongan A: Jenis makanan yang mengandung purin tinggi (150 – 1000 mg purin/100 gr bahan makanan). Yaitu hati, ginjal, otak, jantung, paru, usus, udang, remis, kerang, ikan hering, sardin, ekstrak daging (abon, dendeng), ragi (tape), bebek, makanan yang diawetkan dalam kaleng serta alkohol.

2.Golongan B: Jenis makanan yang mengandung purin sedang (50 – 100 mg purin/100 gr bahan makanan). Yaitu ikan yang tidak termasuk golongan A, daging sapi, kacang-kacangan dalam bentuk kering, kembang kol, bayam, asparagus, buncis, jamur, kangkung, daun singkong, daun papaya, dan daun melinjo.

3.Golongan C: jenis makanan yang mengandung purin lebih ringan (< 50 mg purin/100 gr bahan makanan). Yaitu keju, susu, telur, sayuran lain, buah-buahan. Sayuran rendah purin di antaranya, wortel, labu siam, tomat, beet, brusel sprout, kol, seledri, jagung, terong, brokoli, selada air, okra, kentang, kacang panjang.

“Dengan sisa tenagaku kutendang dan kulawan penculik itu”

Tulisan ini adalah kisah nyata seorang gadis remaja bernama Yeni Andhika. Ia adalah korban selamat penculikan dan human trafficking di Jakarta Utara pada Februari 2010. Berikut kisahnya.

Jika selama ini penculikan gadis yang kemudian dipaksa untuk menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) hanya aku lihat di sinetron atau berita kriminal, kini kejadian ini benar-benar menimpaku. Hal yang tidak pernah ada sedikitpun dalam benakku. Aku yang tidak pandai bergaul dan merupakan sosok yang pendiam, sangat shocked dengan kejadian ini. Namun Aku masih bersyukur, Allah menyelamatkanku dari jurang kenistaan itu.

Panggil saja aku Yeni (17 tahun). Aku lahir dan besar di Jakarta. Saat ini aku tinggal bersama kedua orangtua dan ketiga adikku di sebuah pemukiman di daerah Penjaringan, Jakarta Utara. Aku anak pertama dari empat bersaudara. Sejak kecil aku adalah anak yang tertutup, pendiam dan tidak tertarik dengan gemerlapnya dunia luar. Yang aku tahu, aku sangat menyayangi orangtua dan ketiga adikku.

Saat ini aku duduk di bangku kelas 3 SMUN 40 di kawasan Jakarta Utara. Karena aku anak yang pertama, aku merasa memikul beban keluarga, harus membantu membiayai sekolah adik-adikku yang masih kecil dan membahagiakan keluarga. Singkat kata, aku harus membantu perekonomian keluarga. Oleh karena itu, tidak ada niatan sedikitpun untuk melanjutkan kuliah setelah aku lulus SMU. Karena biaya dari mana? Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja, keluargaku hanya bergantung dari hasil jerih payah ayah sebagai tukang ojek, sedangkan ibu hanya mengurus rumah dan adik-adikku. Maka dari itu, aku berusaha untuk mendapatkan nilai terbaik di sekolah. Alhamdulillah, nilai terakhir semester kemarin cukup memuaskan. Aku dapat peringkat kedua di kelas.

Peristiwa. Aku memang bukan gadis cantik, tapi aku juga nggak jelek-jelek amat. Tinggi badanku 155 Cm dengan berat badan 43 Kg membuat bentuk tubuhku terlihat langsing. Belum lagi rambutku yang sedikit ikal dengan panjang setengah punggung dan kulitku yang putih bersih, menutupi kekurangan pada hidungku yang tidak terlalu mancung ini.

Peristiwa mengerikan itu masih terekam jelas diingatanku. Pagi itu, Sabtu (27/2) sekitar pukul 07.30 WIB, langit terlihat cerah. Seharusnya hari itu aku libur dan nikmati waktu bersantai di rumah bersama keluarga. Namun karena aku harus mengikuti pelajaran tambahan untuk persiapan EBTA pada Senin (8/3), dengan semangat aku memulai hari itu dengan penuh keceriaan. Ya, aku tidak ingin gagal saat ujian nasional nanti. Berjuta asa aku gantungkan pada nilai ujian akhir nasional, agar mudah mendapatkan kerja selepas SMU. Aku juga tidak mau mengecewakan orangtuaku karena sudah banyak biaya yang harus mereka keluarkan untuk membiayai sekolahku. Bagiku, sepeser Rupiah sungguh bernilai karena didapatkan dengan susah payah oleh Ayah.

Karena jarak antara sekolah dan rumah lumayan jauh, sekitar 6 km, kadang aku diantar Ayah atau Ibu, atau naik kendaraan umum dengan pindah angkutan sebanyak dua kali. Pagi itu, aku berangkat sekolah bersama ibu dengan mengendarai sepeda motor. Tapi karena tujuan aku dan ibu berbeda, kami berpisah di persimpangan jalan. Aku turun dan naik kendaraan umum, sedangkan ibu melanjutkan perjalanannya dengan sepeda motor. Takut telat sampai di sekolah, aku bergegas naik metro mini 02 yang ke arah kota.

Di tengah perjalanan menuju arah WTC Mangga Dua, lalu lintas padat merayap. Tidak seperti hari-hari biasanya, pagi ini lalu lintas sangat macet. Setelah metro mini yang aku tumpangi berada di depan WTC Mangga Dua, barulah aku tahu jika kemacetan ini akibat dari kebakaran di daerah Pademangan yang lokasinya tak jauh dari situ. Sekitar 30 menit angkutan yang aku tumpangi tertahan di tempat dan tidak dapat bergerak sedikitpun, akupun memutuskan turun dan pindah ke angkutan lain di jalan yang sudah bebas dari macet.

Dibekap. Begitu turun dari metro mini ternyata jalan raya ditutup dan tidak diperbolehkan siapapun melintasi jalan itu. Aku pun memilih ‘jalan tikus’ untuk memotong jalan agar cepat sampai ke sekolah. Pikirku saat itu, ‘jalan tikus’ adalah alternatif yang paling bagus supaya cepat sampai sekolah.Meski aku akui, aku sangat asing dengan jalan ini. Aku ingat sekali, saat itu aku berjalan dengan langkah lari-lari kecil di kawasan Budi Kemuliaan.

Setelah jauh dari jalan utama tempat aku turun dari angkutan umum tadi, saat aku ingin melewati jalan yang lebih kecil lagi, aku melihat ada tiga orang pria bertubuh besar dan berkulit hitam legam, menggenakan kaos hitam dan celana jeans. Tidak ada pilihan lain, aku pun memberanikan diri untuk melewati tiga orang berperawakan seperti orang Negro itu.

Saat itu suasana benar-benar sepi. Tidak ada siapa-siapa selain aku dan mereka. Dengan rasa takut dan detak jantung yang berdegup kencang, sambil menundukkan kepala dan merangkul tas di depan dada, aku melewati mereka dengan minta permisi terlebih dulu. Aku merasa saat ngeri saat itu. Jangankan bertemu dengan orang asing, di sekolah atau di sekitar rumah pun aku tidak berani untuk memulai menyapa atau bicara kepada orang lain. Ya, aku memang dikenal pendiam dan tertutup. Sifat ayahku lah yang banyak menurun ke aku.

Hup! Akhirnya aku melewati mereka juga. Namun sekitar 20 langkah kakiku melangkah dari tempat mereka duduk tadi, detak jantungku semakin berdetak cepat seakan tidak terkendali. Perasaan takutku semakin tak karuan, aku merasakan ada yang mengikutiku dari belakang. Tapi aku tidak berani menoleh ke belakang, aku takut jika memang merekalah yang mengikutiku. Namun suara langkah kaki yang lebih dari satu orang membuatku yakin jika merekalah yang mengikutiku.

Di saat langkahku semakin cepat, tiba-tiba ada tangan kuat yang mendorong dan menutup hidungku dengan sapu tangan dari arah belakang. Aku pun sudah tidak mengetahui apa yang terjadi denganku.

Tiba-tiba, aku terjaga dan saat itu aku sudah ada di ruangan sempit dengan tembok berwarna putih. Tak ada jendela dan tidak ada celah udara yang masuk ke dalamnya. Di ruangan pengap itu, ternyata aku tidak sendiri. Ada dua orang gadis seusiaku yang terus-menerus meneteskan air mata. Di saat itulah, baru aku tahu kalau aku bernasib sama dengan mereka. Aku diculik dan akan dijadikan Pekerja Seks Komersial (PSK) oleh tiga pria yang berperawakan tinggi besar, berkulit hitam yang aku temui di jalan kecil tadi pagi.

Diam-diam, aku tarik handphone CDMA ku dari kantong. Saat aku lihat jam di HP ku, ternyata sudah menunjukkan pukul 19.00 WIB. Meskipun di ruangan itu kami hanya bertiga, tapi kami tidak saling sapa dan bicara antara satu dan lainnya. Lidah kami kelu, kami shocked, takut, dan memikirkan diri masing-masing. Seperti dua gadis itu, aku juga terus menerus terisak dan menangis. Hati dan pikiranku sudah bercampur aduk. Aku membayangkan seperti apa masa depanku jika aku tidak segera bertemu keluarga hari ini juga.

Berontak. Hingga pagi menjelang, aku dan dua gadis itu terus dijaga ketat oleh tiga laki-laki itu secara bergantian. Yang terus terlintas di pikiranku, bagaimana caranya aku bisa keluar dan melarikan diri dari tempat ini dengan selamat. Pelan-pelan, sambil memutar otak, aku mengikuti pola pikir penculik. Memang, selama dikurung aku tidak ditanyai apa-apa. Hanya saja, di ruang tempat yang aku berada, terus dijaga ketat secara bergantian.

Pagi itu, Minggu (28/2), sekitar pukul 05.30 WIB, aku dan dua gadis yang satu ruang denganku, diberi makan seadanya. Tak lama setelah itu, satu dari tiga pria yang berperawakan Negro menggiring aku ke arah mobil Toyota Kijang berwarna coklat. Dari percakapan mereka, aku mengetahui jika aku akan mereka bawa ke Batam untuk dijual dan dijadikan PSK (Pekerja Seks Komersial). Di saat itulah, aku berontak untuk melarikan diri. Dalam keadaan tangan yang tidak diikat, segera aku berbalik badan. Aku langsung menendang dan mendorong penculik itu. Satu laki-laki lainnya segera meraih tubuhku yang kurus. Aku dipukul, ditempeleng, dan didorong hingga tersungkur ke tanah. Saat itu aku merasakan pukulan yang sakit sekali dikedua bagian bahuku. Meski begitu, aku tidak mau menyerah, dengan sekuat tenaga yang aku punya, aku kembali melawan dan terus menendang penculik itu.

Alhamdulillah, Allah Maha Segalanya. Kembali aku diberi kekuatan hingga mampu mendorong dan menendang pria berkulit hitam itu hingga tersungkur. Dengan sekuat tenaga yang tersisa, aku lari sekencang mungkin tanpa tahu ke mana arah yang kutuju. Mereka pun tidak tinggal diam. Mereka mengejar aku dengan membabi buta. Hingga akhirnya tubuhku sangat lemas dan nafasku tersengal-sengal. Sambil berlari, aku menangis dan bingung mesti lari ke mana lagi. Semua yang terlihat hanya pohon-pohon dan persawahan. Tidak ada tanda kehidupan dan pemukiman yang terlihat. Sampai akhirnya aku sembunyi, masuk ke dalam sawah di antara jejeran pepohonan yang rimbun. Masih terasa terancam, aku tetap bertahan dan diam bersembunyi di tempat tersebut. Meski saat itu terik matahari sangat menyengat dan aku haus sekali, namun aku harus kuat hingga situasi aman untuk keluar dari tempat persembunyian.

Ditolong. Saat itu, sekitar pukul 17.00 WIB, pelan-pelan aku mulai melangkah keluar dari tempat persembunyian. Sambil berlari kecil dan bersembunyi aku mencari sumber suara lalu lintas. Ternyata sumber suara itu berasal dari atas. Agar dapat ke jalan raya aku harus berjalan dengan kemiringan jalan 50 derajat, sedikit mendaki memang. Saat itu aku haus, perutku sangat lapar, tubuhku lemas, dan wajahku pucat.
Sesampainya aku di jalan raya, aku terus berjalan hingga akhirnya aku melihat sebuah counter HP di pinggir jalan. Dengan suara terbata-bata dan tubuh gemeteran, aku bertanya lokasi tempat kini aku berada, pada gadis penjaga counter. “Cikopo, Cikampek,” jawab gadis itu penuh keheraan melihat keadaanku.

Aku ingin menelepon Ayah. Syukurlah HP CDMA ku masih ada di kantong. Tapi karena susah mendapatkan sinyal, akhirnya aku minta tolong gadis itu untuk menelpon ke nomor ayahku. Tak lama, telepon pun tersambung. Ada sedikit perasaan lega dalam hati ini. “Halo, pak. Ini Yeni. Jemput Yeni, pak,” tuturku sambil menangis saat mendengar suara Ayah di seberang sana. Karena aku sangat lemas dan tidak begitu paham daerah tersebut, akhirnya ayahku meminta agar telepon diberikan kepada gadis itu.

“Pak, cepat ke sini, Pak. Muka anak bapak pucat sekali. Anak bapak habis dikejar-kejar orang,” jelas gadis itu sedikit panik. “Di daerah mana, bu?” tanya ayahku lagi. “Di Cikopo, Pak,” jawab gadis yang berkulit sawo matang itu. Setelah itu, dengan rawut wajah yang cemas dan prihatin, ia langsung mengantar aku ke Pos Polisi Cikopo, Cikampek seperti saran ayahku. Sesampai di Pos Polisi itulah aku merasa aman dari kejaran tiga pria berkulit hitam seperti Negro itu.

Sekitar pukul 19.00 WIB ayahku tiba di Pos Polisi. Lalu Ayah menemaniku saat aku diinterogasi tentang kronologis kejadian oleh Polisi. Setelah selesai pemeriksaan, masih diliputi dengan perasaan takut, aku dan ayahku disuruh kembali ke rumah. Sepertinya penanganan polisi hanya sampai di situ saja. Polisi tidak berusaha memberikanku perlindungan khusus karena bagaimanapun juga semua identitasku ada ditangan penculik. Masih dengan perasaan was-was akupun pulang dengan ditemani ayah.

Setiba di rumah, sekitar pukul 23.30 WIB, aku disambut dengan mata berlinang oleh ibu, ketiga adik-adikku, dan beberapa anggota keluarga lainnya. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya diam dan menangis terisak-isak. Melihat tubuh dan bajuku yang terlihat kumal, lalu ibu membawaku ke kamar dan membersihkan tubuhku dengan air hangat serta mengganti pakaianku dengan yang bersih. Selama tubuhku dibersihkan, lidahku kelu. Bibirku rasanya berat sekali untuk digerakkan. Aku tidak memiliki kekuatan untuk bercerita dan mengingat kembali seperti apa kronologis dan penderitaan yang aku alami. Pasalnya semua data, buku-buku, dan KTP, ada di dalam tas yang tertinggal di ruangan tempat aku dikurung oleh penculik itu.

Hingga kini, aku pun masih dicekam rasa ketakutan. Tidak ada perlindungan dari kepolisian atau pihak yang berwenang. Orangtuaku pun tidak memindahkan aku, meski hanya untuk sementara tinggal bersama saudaraku. Maklum saudara ibu ataupun ayah juga memiliki perekonomian yang sama dengan keluargaku. Satu-satunya perlindungan untukku, dilakukan sendiri oleh ayah dan ibuku. Mereka secara bergantian mengantarku kemana pun aku pergi.

Aku sangat trauma, aku takut ke luar rumah, bahkan untuk bertemu laki-laki asing yang tidak pernah aku lihat. Terlebih seperti pria yang berperawakan seram dengan tubuh yang tinggi besar dan berkulit hitam mirip seperti orang Negro. Namun aku masih bisa bersyukur kepada Allah SWT, karena “matahariku” tidak direnggut oleh laki-laki itu, meski saat ini, aku masih menahan rasa sakit di bagian bahuku yang berwarna biru juga dengan tubuh yang terasa remuk. Dan aku juga bersyukur karena hanya aku yang berhasil melarikan diri dari ketiga penculik itu. Tentang nasib kedua gadis yang bersamaku, kini aku sudah tidak tahu lagi bagaimana nasibnya. Karena aku hanya mampu berfikir dan berusaha melarikan diri sendiri. Semoga saja mereka memiliki keberanian yang sama sepertiku sehingga tidak sampai dijual dan dijadikan PSK oleh ketiga laki-laki biadab itu. Noprica Handayani

Susah Tidur Bisa Membuat Cepat Tua

Insomnia atau gejala sulit tidur, pasti pernah dialami banyak orang. Seringkali masyarakat berpandangan bahwa sulit tidur diidentikkan dengan insomnia, padahal belum tentu. Insomnia adalah salah satu penyakit gangguan tidur yang dapat menyebabkan penuaan dini. Bagaimana cara mengatasinya?

Tidur adalah suatu keadaan alami, teratur, berulang yang ditandai dengan ketenangan diri dan frekuensi pernapasan yang stabil. Bila kualitas tidur seseorang tidak bisa memenuhi kondisi ini, maka sudah dapat dipastikan jika ia mengalami gangguan tidur. Gangguan tidur biasanya terjadi sebagai gejala awal dari penyakit mental. “Karena pada umumnya, gangguan mental disertai dengan perubahan karakteristik dalam fisiologi tidur,” terang Indrias Ardhani Ardhiana, M.Psi, Psikolog yang praktik di Lanizra Conselling.

Ada 99 klasifikasi jenis gangguan tidur, antara lain insomnia, hypersomnia parasomnia, gangguan nafas, sleep apnea, narkolepsi, sirkedian ritem disorder, dan masih banyak lagi. Namun, jenis gangguan tidur insomnia-lah yang paling sering terjadi dan paling dikenal. Yang perlu diketahui, insomnia adalah salah satu jenis gangguan tidur yang ditandai dengan kesulitan berulang untuk memulai tidur atau mempertahankan tidur.

Insomnia. Menurut dokter spesialis gangguan tidur, dr Andreas Prasadja, RPSGT (Registered Polysomnographic Technologist), insomnia merupakan salah satu bentuk penyakit. Insomnia tidak dipengaruhi oleh faktor umur seperti orang yang sudah lanjut usia atau orang dewasa yang memiliki aktivitas tinggi atapun beban pikiran yang berat, namun dapat dialami oleh segala usia bahkan anak-anak yang berusia tiga tahun. “Mereka yang sudah lanjut usia, memang kebutuhan tidurnya sudah berbeda. Kalau itu wajar saja dan bukan insomnia,” tutur dr Andreas yang ditemui di RS Mitra Kemayoran, Jakarta Pusat.

Selama ini, lanjut dr Andreas, gangguan tidur yang banyak ditemui adalah adjustment insomnia, yaitu mereka yang tidak bisa tidur karena faktor kebiasaan. Misalnya seseorang yang berusaha untuk tidur dengan memejamkan mata dan terus berbaring di tempat tidur. Padahal, ia tidak bisa tidur. Akibatnya, justru semakin gelisah, semakin kesal dan semakin terjaga.

Tanda-Tanda. Beberapa tanda penderita insomnia, antara lain kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur. Keadaan ini berlangsung sekurang-kurangnya satu bulan. Tanda yang lainnya yaitu kelelahan yang terjadi pada siang hari, sehingga menyebabkan terganggunya aktivitas pekerjaan, sosial atau yang lainnya.

Yang perlu diketahui, insomnia tidak terjadi karena adanya gangguan pernafasan, gangguan mental seperti depresi berat atau gangguan kecemasan umum, dan bukan merupakan efek samping dari penggunaan obat-obatan. “Jadi seseorang dikatakan menderita insomnia jika bukan karena tiga hal tersebut. Itu pun jika sudah terjadi selama satu bulan,” tutur Indrias.

Pemicu dan Penyebab.
Ada banyak faktor pemicu terjadinya insomnia. Mulai dari masalah jam tidur yang di luar kebiasaan atau penyakit tertentu seperti penyakit jantung, stroke, diabetes, dangairah seks yang menurun.

Sementara itu, faktor penyebab terjadinya insomnia yaitu pola hidup yang tidak baik, kebiasaan tidur yang buruk dan pengaruh dari kondisi kesehatan. Misalnya mengonsumsi kafein di sore hari, melakukan olahraga di malam hari, ada bagian tertentu dari organ tubuh yang dikeluhkan, hingga kebiasaan ‘berangkat’ tidur dalam kondisi yang tidak ‘siap’. “Siap yang dimaksudkan, tidak hanya rasa kantuk saja, tapi juga dalam keadaan rileks,” jelas dr Andreas.

Menurut dr Andreas, sebelum tidur hendaknya bersantai dengan melakukan aktivitas yang menyenangkan, namun menenangkan. Misalnya membaca atau sekadar melakukan perawatan kulit. “Ini boleh dilakukan sesekali. Karena jika ini dilakukan terus-menerus malah dapat menyebabkan susah tidur,” papar dr Andreas.
Dampak. Pada orang dewasa, dampak insomnia dapat menurunkan kemampuan kognitif seperti penurunan konsentrasi, gangguan mental, timbulnya penyakit hipertensi, diabetes, dan yang paling berpengaruh adalah tingkat emosional. Dampak lainnya yaitu mempercepat terjadinya penuan dini, dan itu terlihat jelas dari wajah dan kantong mata.

Namun bila insomnia terjadi pada anak – anak, akan berdampak pada kekebalan tubuh. Karena peningkatan sistem daya tahan anak-anak, dapat meningkat secara optimal pada saat anak-anak tidur. “Dicekokin vitamin saja tidak akan berpengaruh pada kekebalan tubuh anak, karena sistem daya tahan tubuh anak meningkat pada saat mereka tidur,” kata dr Andreas.

Penanganan.
Salah satu cara yang bisa dicoba untuk mengatasi insomnia, yaitu dengan menambah jumlah jam tidur, sesekali waktu. “Mungkin awalnya satu hari dalam seminggu. Terus dua hari dalam seminggu. Nanti lama-kelamaan pasti bisa tidur dengan jumlah waktu tidur yang dibiasakan itu,” ujar dr Andreas.

Selain itu, upayakan untuk hidup sehat. Adapun hidup sehat harus memperhatikan tiga faktor, yaitu physical fitness, nutritional balance, sleeping beauty. Physical fitness adalah olah raga. Olahraga yang cukup dapat menjaga kebugaran tubuh. Lakukan olahraga secara rutin minimal dua kali seminggu dengan frekuensi 30-60 menit. “Tidak harus jenis olahraga tertentu kok. Lakukan olahraga jenis apapun, dapat menjaga kebugaran tubuh,” ucap dr Andreas.

Nutritional balance atau keseimbangan nutrisi yaitu menjaga asupan makanan dengan memperhatikan nutrisi yang seimbang agar badan mendapat nutrisi yang cukup. “Misalnya kebutuhan karbohidrat, lemak, protein dan vitamin semua tercukupi dengan asupan makanan. Kalau memang tidak, bisa ditambah dengan suplemen-suplemen tertentu, asal semuanya seimbang,” tegas dr Andreas.
Faktor yang terakhir dan menjadi bagian yang tidak kalah pentingnya yaitu tidur yang sehat. Kategori tidur sehat, memenuhi kebutuhan jam tidur yang cukup serta kualitas tidur yang baik.

Lantas bagaimana dengan obat-obat yang banyak beredar di pasaran, yang ditujukan untuk mempermudah tidur? Berbahayakah? Menurut dr Andreas, obat-obatan yang tersedia bebas di pasaran, tidak dapat mengatasi insomnia. “Memang obat tidur yang banyak beredar dipasaran bisa bikin tidur, tapi waktu bangun tidur, tubuh tidak segar,” ucap dr Andreas. Ini dikarenakan sifat obat tidur, hanya sementara. Noprica Handayani


Tips untuk Mendapatkan Tidur yang Baik dan Sehat
Ada beberapa cara yang perlu diperhatikan agar mendapatkan kebiasaan tidur yang baik dan sehat:
1.Penuhi jam istirahat malam minimal delapan jam per hari.

2.Sembilan jam sebelum tidur, hindari konsumsi kafein. Karena kafein baru hilang dari peredaran darah setelah 9 – 12 jam kemudian. Tentunya hal ini akan mengganggu waktu tidur Anda.

3.Tiga jam sebelum tidur, usahakan Anda sudah selesai melakukan olahraga. Olahraga memang membuat tubuh lelah, tapi justru meningkatkan kadar adrenalin yang menyegarkan otak. Sehingga bukannya menjadi ngantuk, tubuh akan semakin segar.

4.Satu jam sebelum tidur, tinggalkan semua pekerjaan dan biasakan untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan namun bersifat santai. Hindari aktivitas yang membuat kita excited.

5.Jika sudah benar-benar mengantuk, sebaiknya segera naik ke tempat tidur. Jangan melakukan kegiatan apa pun di tempat tidur selain tidur dan berhubungan seks.