Rabu, 06 Oktober 2010

“Aku ingin Presiden tahu dan mendengar suara rakyat kecil”

Susi Haryani, Ibu Ridho Januar, Korban Ledakan Tabung Gas Elpiji 3 Kg yang Nekat ke Istana Negara

Program konversi minyak tanah ke bahan bakar gas atau elpiji 3 Kg sudah banyak menelan korban. Salah satunya, seorang anak berusia 4,5 tahun asal Bojonegoro bernama Ridho Januar yang menjadi korbannya. Parahnya luka bakar yang menimpa Ridho, tidak membuat luka bakar itu sembuh meski sudah dirawat tiga bulan di RSUD dr. Soetomo, Surabaya. Kini bagaimana kondisi Ridho?

Sudah empat bulan lamanya aku dihantui perasaan bersalah. Pilu di hatiku tak kunjung redup tiap kali melihat wajah dan tubuh anakku, Ridho Januar, yang melepuh akibat luka bakar ledakan tabung gas elpiji 3 kg pada 27 Maret 2010. Hari itu seakan mimpi buruk yang tak ingin aku ingat saat aku terjaga. Dadaku pun terasa sesak bila bila tiap kali mendengar rintihan Ridho karena merasakan gatal, panas dan sakit di sekujur wajah, kedua tangan, dan kedua kakinya.

Mungkin ini memang salahku, tapi ini bukan kehendakku. Seutuhnya aku sangat menyayangi ketiga anakku, Rizki (10 tahun), Ridho (4,5 tahun), dan Dede (4,5 bulan). Aku merasa bersalah pada diriku, terutama mantan suami keduaku, Maman Suherman, ayah kandung Ridho. Karena baru tiga bulan, sejak Januari 2010, Ridho tinggal bersamaku, sepulang aku dari Malaysia pada pertengahan 2009 sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Rasanya aku telah menghancurkan masa depan anakku. Jika waktu bisa diulang, aku ingin mengembalikan Ridho pada mantan suamiku saat itu juga.

Kronologis. Kejadian pagi itu sangat cepat dan tidak terduga. Sekitar pukul 06.30 WIB saat Ridho dan suami ketigaku masih terlelap dalam tidur, aku berniat menghangatkan sisa nasi goreng yang aku beli semalam untuk sarapan pagi Ridho dan suamiku.

Awalnya aku tidak merasakan firasat apa-apa. Sekejap setelah aku berdiri, aku langsung menghidupkan kompor gas elpiji 3 kg yang biasanya aku gunakan untuk memasak. Sungguh pagi itu aku tidak mencium bau gas dan tidak mengetahui jika tabung elpiji yang aku pakai bocor. Karena hari-hari sebelumnya, saat aku menggunakan kompor gas tersebut, tidak ada masalah. Namun pagi itu beberapa kali aku coba menghidupkannya, apinya tidak menyala. Sementara aku yakin kalau tabung gas yang aku beli di warung empat hari lalu belum habis.

Seperti biasa, jika kompor sulit aku hidupkan, biasanya aku sulut dengan pemantik api. Hal yang sama aku lakukan pada hari itu. Sekali, dua kali, tiga kali, keadaan masih baik-baik saja. Namun saat aku coba yang keempat kalinya, tiba-tiba kompor gasku langsung meledak. Gumpalan api memenuhi ruangan berukuran 3x4 meter persegi di rumah kontrakan tempat aku tinggal. Karena atap kontrakan terbuat dari beton, dengan cepat api menyambar seisi rumah. Seandainya kontrakanku tidak hanya satu ruangan yang digunakan multifungsi sebagai dapur, ruang tidur, dan ruang keluarga, mungkin Ridho tidak merasakan langsung panasnya api dari ledakan gas.

Aku yang saat itu sedang kalut dan merasakan panasnya disambar api, langsung mencari jalan keluar untuk menyelamatkan diri. Begitu juga suamiku yang langsung berdiri dan lari saat mendengar ledakan gas. Setelah berada di luar rumah, dengan nafas terengah-engah dan jantung yang berdegup kencang, aku berteriak minta tolong sekuat tenaga saat teringat Ridho masih berada di dalam rumah. Saat itu aku seperti hilang kesadaran melihat api yang berkobar dan rintihan tangis Ridho karena kepanasan.

Meski saat itu aku tengah hamil 9 bulan, aku berusaha untuk kembali menerobos api yang melalap ruangan sempit yang sudah aku tempati selama delapan bulan tersebut. Begitupun dengan suamiku. Namun, karena kondisi api yang semakin membesar dan pintu menjadi sulit dibuka, kami pun tidak dapat menerobos masuk ke dalam.

Syukurlah pertolongan dari para tetangga cepat berdatangan. Mereka langsung menolong aku, suamiku, dan Ridho yang ada di dalam rumah sekitar 10 menit dengan keadaan api yang besar. Kami langsung diantar ke rumah sakit. Meski kedua tangan, kaki, serta muka sangat perih dan panas aku rasakan ketika menuju rumah sakit, mungkin tidak seperih dan sepanas yang Ridho rasakan. Luka bakar yang aku alami hanya 15 persen, suamiku tak lebih dari 10 persen, sedangkan Ridho hampir 80 persen.

Sungguh aku merasa sangat bersalah bila mengingat kejadian itu. Aku tidak tega melihat Ridho yang terus-menerus menangis karena kepanasan. Sungguh ini semua di luar batas kemampuan dan ketidaksengajaanku. Kini rumah kontrakan yang beralamat di Jalan Basuki Rahmad, Gang Musa, Kelurahan Mojokampung, Kota Bojonegoro, Jawa Timur, bagaikan mimpi buruk bagiku. Meski aku tidak memiliki rumah dan kini aku berjuang hidup tanpa suamiku, aku tidak akan kembali lagi untuk selamanya ke Bojonegoro.

Aku tidak tahu mesti berbuat apalagi untuk kesembuhan anakku. Saat melihat Ridho bermain di halaman rumah dan diolok-olok teman-teman seusianya karena kulit wajah, tangan serta kaki Ridho yang tidak lagi normal, hatiku sangat teriris. Sebagai orangtua, aku tidak sanggup melihat kenyataan pahit yang dialami anakku. Aku tidak menyalahi takdir Allah, bila ini adalah jalan hidup yang harus aku jalani. Tapi kenapa tabung gas elpiji 3 kg itu seolah-olah tidak bersalah dengan “merenggut” keceriaan Ridho untuk menggapai masa depannya. Tabung itu bagaikan “terorisme” gaya baru yang sasarannya masyarakat kecil.

Terlintas di ingatanku, jika tabung gas elpiji 3 kg itu adalah program pemerintah yang bekerjasama dengan Pertamina. Bahkan belum lama ini, pemerintah mengatakan ada produk baru tabung gas elpiji yang akan diuji keamanannya dan setelah itu baru diberikan kembali kepada masyarakat. Namun hingga kini semua itu hanya sebatas wacana. Jaminan keamanan yang dielu-elukan pemerintah, nyatanya sudah lebih dulu “merenggut” kebahagiaan masa kecil dan masa depan anakku.

Mengetuk Istana. Ingat program ini adalah program pemerintah, aku pun teringat Istana Negara dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Demi memperjuangkan kesembuhan anakku, hanya dengan berbekal uang tabungan seadanya, aku memberanikan diri ke Jakarta untuk masuk ke Istana dan bertemu Presiden SBY. Aku tidak peduli meski hal ini tidak disetujui ayah kandung Ridho, Maman, saat aku hubungi melalui telepon.

Malam itu, Minggu, 18 Juli 2010, aku dan Ridho meninggalkan kota Bojonegoro. Dengan menggunakan bus umum dari Terminal Rajekwesi, Bojonegoro, menuju Terminal Lebak Bulus di Jakarta Selatan. Sesampai di Jakarta aku menuju ke Tangerang untuk menumpang tinggal dengan salah satu anggota keluargaku.

Senin (19/7) pagi, aku kembali melanjutkan perjalanan ke Istana Negara. Namun sebelum ke Istana, aku menuju ke Wisma Nusantara untuk menemui salah satu kru TVOne. Namun sesampai di sana, ternyata program “Apa Kabar Indonesia Pagi” sudah bubar. Lalu aku disarankan ke Pulau Gadung, kantor redaksi TVOne. Saat itu, Matahari bersinar terik. Aku tidak ingin perjuanganku hari itu sia-sia. Dari Wisma Nusantara, aku putuskan untuk tidak mengadukan aspirasiku ke televisi itu, melainkan sesegera mungkin menuju Istana Negara.

Setelah bertanya-tanya, aku disarankan untuk menggunakan jasa bus Trans Jakarta menuju Istana Negara. Sesampainya di feeder busway Harmoni, aku langsung turun dan jalan kaki menuju Istana. Memang cuaca Jakarta jelang siang saat itu terasa sangat terik. Ridho tak henti-hentinya merengek dan menyuruh duduk untuk istirahat karena capek. Meski baru sebentar berjalan dari halte Harmoni, melihat wajah dan mendengar keluhan Ridho, akhirnya ia aku gendong. Dalam dekapan gendong menuju Istana, kutahan agar air mata tak menetes di pipiku.

Sekitar pukul 13.00 WIB, akhirnya aku tiba di halaman gedung Sekretariat Negara. Sudah dua jam lamanya aku berharap bisa bertemu Presiden SBY untuk meminta bantuan tindak lanjut pengobatan luka bakar yang diderita anakku. Sempat saat itu aku disuruh pergi oleh seorang pria yang mengenakan safari di lingkup Istana Presiden, namun aku bersikukuh tidak akan pergi sebelum ada kepastian dan penanggulangan untuk kesembuhan Ridho.

Memang tidak semua orang memiliki hati yang hitam. Alhamdulillah, para awak media yang berada di lingkup Istana Negara saat itu peka terhadap nilai sosial dan kemanusiaan. Mereka menghampiri aku, bertanya, sekaligus memberikan bantuan secukupnya dari saku mereka. Tak lama setelah itu, aku pun dihampiri salah satu Staf Rumah Tangga Istana Kepresidenan. Dengan perintah dari Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, aku dan Ridho dibawa ke kantor Pertamina Pusat di Jalan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, dengan menggunakan kendaraan khusus. Setibanya di sana, aku dan Ridho diajak ke lantai 22 oleh pihak Pertamina. Mereka mengatakan jika hal ini sudah dikoordinasikan ke Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih.

Usai bertemu pihak Pertamina, aku diajak kru TVOne untuk siaran langsung di salah satu program beritanya. Di tengah perjalanan menuju kantor TVOne, tiba-tiba aku dihubungi salah seorang profesor yang bekerja di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Profesor tersebut mengatakan jika pihak RSCM akan menangani perawatan untuk kesembuhan luka bakar Ridho.

Perawatan. Mungkin tindakanku ini tergolong nekat. Tapi aku sudah tidak tahu mesti kemana lagi harus mencari bantuan untuk pengobatan Ridho. Sejak aku sudah tidak bekerja sebagai TKI di Malaysia, aku tidak lagi memiliki pekerjaan.

Simpati yang mengalir dari berbagai pihak saat aku dan Ridho berada di Komplek Istana Negara, cukup melegakan hati ku. Akhirnya untuk perawatan kesembuhan, Ridho dirujuk ke RSCM. Sebelumnya, pasca ledakan aku dan Ridho dirawat di RSUD dr Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro. Namun karena Ridho mengalami luka bakar yang cukup serius, maka Ridho langsung dirujuk ke RSUD dr Soetomo di Surabaya selama tiga bulan, yaitu 27 Maret 2010 sampai 27 Juni 2010. Selama di sana Ridho telah menjalani lima kali operasi pencangkokan kulit di wajah, tangan, dan kaki. Adapun total biaya perawatan Ridho selama di RSUD dr Soetomo, yaitu Rp 70 juta. Sedangkan selama aku di RSUD dr Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro menghabiskan Rp 20 juta untuk perawatan luka bakar di tangan dan kaki serta persalinan anak ketigaku, Dede, setelah sehari pasca ledakan. Memang total biaya semuanya itu sangat besar. Tapi syukurlah, masih ada masyarakat yang tulus memberi bantuan untuk biaya perawatan selama aku dan Ridho di rumah sakit. Selain itu, kami juga dimudahkan dengan menggunakan surat miskin serta surat keterangan Jamkesmas.

Di RSCM, Ridho di tempatkan di Unit Pelayanan Khusus Luka Bakar Prof. Dr. Munadjat Wiratmadja. Meski selama aku menemani Ridho mendengar sindiran tak enak dari beberapa perawat, tapi tidak sedikit dokter spesialis yang menangani Ridho. Salah satunya dokter Aditya Wardhana, dokter spesialis bedah plastik. Menurut dokter Aditya, pengobatan terhadap Ridho diperkirakan membutuhkan waktu selama satu tahun. Ini lantaran luka Ridho tidak sebatas luka di kulit saja, tapi sudah mengenai daging bagian dalam. Oleh karena itu, Rabu, 21 Juli 2010, aku diberi edukasi pelatihan pemakaian pressure garment dan silicon gelshuit untuk nanti perawatan di rumah.

Memang selama di RSCM belum ada pembicaraan serius dengan dokter mengenai operasi plastik untuk anakku. Yang ada saran untuk menggunakan silicon gelshuit yang dilapisi oleh pressure garment, selanjutnya akan dipantau pekembangannya enam bulan ke depan. Kata dokter yang menangani Ridho, silicon gelshuit ini akan membantu mengurangi efek luka bakar dan mempercepat penyembuhan luka. Untuk itu, minimal satu bulan sekali Ridho harus check up ke rumah sakit. Sedangkan pressure garment adalah sejenis stocking yang membalut silicon gelshuit, yaitu dipakai minimal delapan jam, bisa dilepas jika akan mandi dan sholat, kemudian harus diganti yang baru kembali.
Meski sudah diperbolehkan pulang (Kamis, 22 Juli 2010) dan kontrol setiap pekannya ke RSCM, jujur aku agak kagok untuk pemakaian silicon gelshuit dan pressure garment ini. Aku juga khawatir akan kesterilan pemulihan kondisi Ridho saat di rumah adikku di Cikupa, Tangerang. Tapi kalau memang Ridho diharuskan rawat jalan, tidak mungkin aku memaksa untuk tetap bertahan.

Saat ini kondisi Ridho sudah lebih baik. Rasa panas sudah tidak lagi dirasakannya, sedang rasa gatalnya sudah berkurang. Luka bakar pada bagian tangan dan kaki mulai mengering. Sedang pada bagian lainnya, masih dalam proses penyembuhan. Aku pun dengan rajin memberikan silicon gekshuit dan pressure garment.

Harapan. Tentu aku sangat senang saat Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih menjenguk serta membawakan mainan berupa mobil-mobilan dan kereta api untuk anakku. Meski ada yang beranggapan bahwa aku mendatangi Istana Negara, Senin, 19 Juli 2010, hanya untuk mencari sensasi, aku tidak perduli. Memang aku tidak memungkiri, jika kadang aku sangat sedih saat mendengar sindiran itu. Orangtua mana yang tega menyiksa anak kandung sendiri demi mencari sensasi? Justru aku mengharapkan tidak terjadi sesuatu terhadap anakku. Seandainya saat menghangatkan nasi goreng untuk sarapan pagi waktu itu tidak menjadi musibah bagiku, mungkin aku tidak akan nekat mendatangi Istana Negara untuk bertemu Presiden SBY.

Aku hanya ingin Presiden tahu dan mendengar suara rakyat kecil korban tabung gas elpiji yang merupakan program pemerintah. Buatku, musibah ini tidak hanya sebatas cacat fisik Ridho, tapi juga cita-citanya yang ingin menjadi polisi atau dokter. Aku ingin Ridho bisa bermain, tertawa, dan sekolah seperti anak yang lain.

Dalam kesempatan ini, aku ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh masyarakat Indonesia yang telah ikhlas menyumbang dana pengobatan Ridho melalui TVOne. Jumlah uang sebesar Rp 162 juta yang terkumpul dalam rekening Bank Mandiri, akan aku gunakan untuk meneruskan pengobatan Ridho. Aku juga ingin mengucapkan terima kasih pada TVOne karena telah membantu proses pembayaran administrasi pengobatan anakku selama di RSCM, saat Ridho keluar dari rumah sakit, Kamis, 22 Juli 2010. Selain itu aku juga berterimakasih kepada dengan 11 kuasa hukum yang dengan sukarela membela kepentingan dan hak hukum anakku. Noprica Handayani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar