Rabu, 06 Oktober 2010

“Suamiku tumbal konflik petinggi di Artha Graha”

Tyas Rumanti, Istri Aan, Korban Penganiayaan Polisi dan Oknum Petinggi Artha Graha Group

Banyaknya dugaan rekayasa dan kejanggalan-kejanggalan saat proses hukum di persidangan membuat kita kembali bertanya-tanya, adakah keadilan bagi rakyat kecil? Seperti yang dialami Susandi alias Aan, staf keuangan PT Maritim Timur jaya (MTJ), di Gedung Artha Graha tiga bulan yang lalu. Berawal dari konflik yang terjadi antarpetinggi Artha Graha Group, David Tjioe dan Ronny Brata Wijaya. Karena Aan bekerja pada masa kepemimpinan David Tjioe dan berhubungan baik, Ronny mengira Aan adalah orang kepercayaan David yang mengetahui banyak hal mengenai David. Berdasarkan dugaan inilah Aan akhirnya beberapa kali diinterogasi dan yang terakhir interogasi disertai kekerasan fisik. Tidak cukup sampai di situ, oleh pihak Artha Graha, Aan dijebak dengan Narkoba yang sebelumnya ditaruh di dompetnya saat ia ditelanjangi di kantor tersebut. Tadinya kasus ini seperti dipetieskan oleh kepolisian, maklum pemilik Artha Graha selama ini diketahui dekat dengan jajaran Kepolisian. Allah Maha Besar, ketika ada LSM yang membantu istri Aan untuk melaporkan kasus ini ke Satgas Mafia Hukum, sehingga kasus ini bisa terangkat ke permukaan. Bagaimana cerita sebenarnya versi istri Aan? Berikut curahan hatinya pada Femme!

Aku merasakan ketakutan yang sangat hebat saat menerima SMS dari suamiku, Susandi atau yang biasa aku panggil Aan, pada hari Senin (14/12/09), sekitar pukul 18.00 WIB. “Sayang, cepat jemput aku di kantor. Aku takut,” bunyi SMS Aan saat itu. Tak lama setelah membaca SMS dari suamiku, detak jantungku kian kencang. Aku gelisah dan serba salah. Sejenak aku mencoba untuk menenangkan diri saat azan Maghrib berkumandang. Lalu ku teguk secangkir air putih untuk membasahi tenggorokanku yang kering setelah menjalani puasa sunah Senin – Kamis.

Usai sholat Maghrib, Aku langsung beranjak menuju kantor suamiku yang bertempat di gedung Artha Graha tak jauh dari kantorku di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Sebelumya, aku sudah merasakan firasat tidak enak sejak pukul 06.30 WIB, saat aku menemani suamiku untuk sarapan pagi sebelum berangkat ke kantor. Sempat aku nyatakan perasaanku ini padanya, namun dengan cepat Aan menghiburku.

Semestinya hari itu, Senin (14/12), suamiku sudah tidak lagi bekerja di PT Maritim Timur Jaya (MTJ). Karena pada tanggal 25 November 2009, semua karyawan di perusahaan tersebut sudah di PHK (Pemutusan Hak Kerja) secara massal termasuk Direktur Utamanya, David Tjioe, tak terkecuali suamiku.

Namun berhubung posisi Aan di MTJ di bagian keuangan, maka Aan harus menyelesaikan filing (berkas-berkas) atau koordinasi administrasi terkait dengan tanggung jawab kerjanya. Setelah semua tugas Aan selesai, tak lama kemudian Aan didatangi tiga orang Polda Maluku.

Sementara itu, siang sekitar pukul 12.00 WIB, saat aku sedang makan siang, hatiku semakin berdebar kencang dan gelisah. Sejak dari pagi tadi tubuhku terasa lemas dan tidak fokus dalam menyelesaikan pekerjaan. Sesaat aku menenangkan piranku dengan meyakinkan diriku kalau semua ini hanya perasaanku saja dan mungkin juga karena pengaruh puasa yang aku jalani tanpa makan sahur.

Meski demikian, aku terus meng-SMS suamiku untuk mengingatkan makan siang dan bertanya bagaimana keadaan dia dan sedang mengerjakan apa. Tak lama, setelah Aan membalas SMSku dan mengetahui dia baik-baik saja, aku pun merasa sedikit lega.
Namun setelah dua jam berlalu, suamiku mengirim SMS dan mengatakan dia diinterogasi lagi oleh Polda Maluku dengan penyidik yang berbeda. Perlu diketahui, sebelumnya suamiku sudah dua kali diinterogasi oleh pihak Polda Maluku, yaitu pada tanggal 7 dan 11 Desember 2009, terkait kasus kepemilikan Narkoba David Tjioe, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT MTJ (PT MTJ milik Grup Artha Graha beroperasional di Daerah Maluku-red). Siang itu, untuk ketiga kalinya Aan menjalani interogasi tanpa adanya surat keterangan dari pihak kepolisian Maluku.

Tak lama kemudian, suamiku mengirim SMS lagi padaku agar segera dijemput di kantornya. Sesegera mungkin, setelah berbuka puasa dengan segelas air putih dan sholat Magrib, aku langsung ke kantor suamiku. Dalam perjalanan hingga sesampainya di kantor Aan, aku terus berusaha untuk menghubungi dan mengirim SMS padanya. Namun tidak sekalipun Aan membalas atau mengangkat teleponku.

Satu jam sudah aku menunggu Aan di ruang resepsionis, namun belum juga ada kabar dari Aan. Aku pun bertanya ke Vini, salah satu resepsionis MTJ yang aku kenal. Kata Vini, saat itu Aan masih meeting.

Penuh keheranan, aku bertanya pada diriku sendiri. “Sejak kapan Aan meeting hingga pukul 8 malam. Padahal biasanya paling lama hanya sampai pukul 5 sore saja,” pikirku tambah cemas. Aku hanya bisa berdoa dan meminta pada Allah, agar suamiku dalam keadaan baik-baik saja.

Namun aku semakin ketakutan saat aku mendengar suara bentakan yang sangat keras dan pukulan meja, dari balik tembok triplek ruang resepsionis. Tubuhku bergetar hebat, aku khawatir dan takut terjadi apa-apa pada Aan, mengingat kondisi Aan pada Jumat (11/12) malam setelah dilakukannya interogasi kedua, ia selalu bolak-balik buang air kecil dan merasakan kurang enak badan.

Di tempat yang sama, Hendra, salah satu Office Boy di MTJ meminta Aku untuk berdoa dan sabar. Namun sepertinya mereka tidak peduli bagaimana perasaan yang ku rasakan saat itu. Detak jantung semakin kencang dan lututku lemas. Saat itu, rasanya aku ingin sekali teriak dan menerobos masuk ke ruang rapat tersebut. Namun niat itu aku urungkan kembali. Pikirku kalau saja memang meeting beneran, aku sudah mempermalukan diri sendiri dan suamiku di dalam forum.

Pukul 20.00 WIB, sempat aku disarankan pulang oleh Indrayanto, salah satu atasan keuangan Aan di MTJ melalui teleponnya pada Hendra. Tapi aku tidak mempedulikannya. Aku banyak melihat orang-orang ber-face Ambon, keluar masuk ruangan meeting di kantor pusat PT MTJ di gedung Artha Graha. Sekitar pukul 21.00 WIB, lampu mati dan masih di tempat yang sama, Aku disapa oleh seorang pria. Ternyata pria itu adalah Sunggul Sirait, orang yang pernah diberi kuasa sebagai pengacara oleh suamiku. Namun karena gelap dan hanya ada cahaya redup dari lampu dinding, Aku tidak begitu ngeh kalau itu Bang Sunggul.

Satu jam kemudian, sekitar pukul 22.00 WIB, Bang Sunggul keluar dan ia tidak mengatakan apapun selain pamit pulang. Tak lama setelah itu aku ditemui Glen, teman satu kantor Aan. Mungkin Glen melihatku lelah, sehingga akupun diberinya jajanan ringan. Pikirku saat itu, Glen adalah orang yang baik dan salah satu teman dekat Aan di kantor. Ternyata dugaanku salah, Glen adalah salah satu saksi yang memberatkan suamiku di persidangan sebelumnya. Sampai sekarang aku tidak habis pikir kenapa Glen mau bersaksi palsu untuk memberatkan kasus suamiku di persidangan i. Memangnya suamiku punya salah apa?

Malam semakin larut, jarum jam sudah menunjukkan angka 12. Ku lihat ada beberapa orang bertubuh besar datang dan masuk ke ruang meeting suamiku, yang tak lain polisi dari Polda Metro Jaya. Dengan perut kosong dan mata yang sedikit berat, kembali kutanyakan keberadaan suamiku pada Hendra, OB tadi. Namun, tak ada sedikit pun rasa keprihatinan yang ku lihat dari wajahnya. Ia terlihat asyik nonton TV dengan dua orang lainnya yaitu Nanang, sopir operasional MTJ dan Glen. “Kalau mau nunggu, nunggu aja, Mbak. Saya ini juga capek, dari kemarin belum pulang!,” bentak OB itu dengan nada kesal. Menerima jawaban yang tak mengenakkan itu Aku semakin takut. Ketegaran yang aku miliki sejak 6 jam sebelumnya seperti gunung es yang mencair.
Tapi aku harus kuat, aku harus bertemu suamiku malam ini juga. Sambil terus berdoa, tak lama kemudian ku lihat sosok suamiku dari balik pintu dengan menggunakan pakaian yang sedikit berantakan. Ia keluar dengan dikawal satu orang pria. Aku langsung berdiri dan menyapa suamiku. Tapi Aan seolah-olah tidak mendengar dan melihat. Dia terus berjalan dengan kepala tertunduk ke arah toilet. Melihat itu, jantungku rasanya mau copot. Ada apa dengan suamiku? Wajah yang ku lihat ceria pagi tadi, malam itu seperti orang ketakutan dengan wajah pucat pasi. Saat itulah Aku baru tahu kalau di ruang meeting, Aan diinterogasi dan “dikeroyok” banyak orang.

Lima menit kemudian Aan keluar dari dalam toilet, sambil melangkah masuk ke ruangan tadi. Ia tetap tidak menyapa bahkan tidak melirik sedikitpun ke arahku. Sebagai seorang istri, aku bisa merasakan ketakutan yang luar biasa pada suamiku. Saat itu, rasanya tubuhku lemas lunglai. Ku usap air mata di kedua kelopak mataku agar tidak jatuh menetes.

Setelah tujuh jam lamanya aku menunggu, tepat pukul 01.30 WIB, akhirnya Aan keluar juga. Betapa kagetnya aku saat itu. Aku melihat suamiku dengan wajah lebam, jidat benjol dan kedua tangan di borgol. Sambil mendekat Aan berkata “Aku ditahan”. Seperti tersambar petir, aku hanya bengong setengah tidak percaya. Bagaimana bisa suamiku yang aku kenal tidak neko-neko dan taat beribadah, ditahan.

Suamiku pun digiring ke bawah. Aku hanya bisa terduduk diam dan membisu. Melihat sikapku, salah satu pria berkulit hitam itu menyuruhku pulang. Memang aku terlihat seperti orang kebingungan. Tak lama handphone-ku bergetar. Aku menerima SMS dari suamiku. “Aku tunggu di lobi bawah. Aku takut, kamu ikut ke Polda Metro Jaya ya,” pinta Aan padaku.

Akhirnya dini hari itu, dengan menggunakan mobil Honda Jazz berwarna silver, aku berhasil meminta petugas kepolisian untuk ikut bareng suamiku ke Polda. Masih teringat jelas diingatan, di dalam mobil, kami berjumlah 5 orang. Aku duduk di depan sebelah Agus yang mengendarai mobil, sedangkan suamiku duduk di belakang dan diapit oleh Kompol Apollo Sinambela dan Agung yang duduk di sebelah kiri. Mereka semua adalah dari pihak kepolisian Polda Metro Jaya yang datang pada pukul 24.00 WIB ke Gedung Artha Graha.

Setibanya di Polda Metro Jaya dan di ruang kerja Apollo pada Selasa (15/12/09) pukul 02.00 WIB, Aku melihat jelas kondisi tubuh suamiku. Ia terlihat sangat trauma dengan kepala benjol dan bibir bawah bagian kanan terlihat darah membeku. Aku berusaha untuk tidak menumpahkan air mata di pipi walau tenggorokan mulai nyesek dan hatiku sangat teriris. Aku merasakan kedua tangan suamiku dingin dan gemetar hebat saat kedua tangannya memegang tangan kiriku. Setelah Aan sedikit tenang, pelan-pelan Aan menceritakan semua kejadian selama ia diinterogasi di gedung Artha Graha lantai 8 dari pukul 14.00 WIB hingga Selasa (15/12) dinihari pukul 02.00 WIB pagi.

Kronologis. Setelah menyelesaikan tugas filing keuangan di kantor, pada pukul 14.00 WIB, Aan ditemui oleh Viktor B Laiskodat, Komisaris Utama PT Maritim Timur Jaya, bersama tiga orang polisi dari Ditreskrim Polda Maluku yaitu Kombes Pol Jhon Siahaan, Ipda Jhoni dan Brigadir Obed serta dua penyidik lainnya. Setelah bertemu, Aan dibawa ke ruang meeting yang berada di lantai 8 gedung Artha Graha. Lalu Aan disekap, ditelanjangi oleh salah satu Polda Maluku, dan hanya memakai celana dalam.

Di dalam ruang tersebut, Aan diinterogasi dan diminta sebagai saksi terkait dugaan kepemilikan senjata api (senpi) ilegal dari mantan pimpinan MTJ, David Tjioe, oleh Viktor B Laiskodat dan disaksikan tiga anggota Polda Maluku (Jhon Siahaan, Ipda Jhoni dan Brigadir Obed –red) sedangkan dua penyidik yang lain berada di luar.
Aan yang saat itu menolak dan mengatakan tidak tahu apa-apa mengenai kepemilikan senpi tersebut, mendapat bogem mentah di wajah dan kepalanya . Tak puas sampai di situ, dada suamiku ditendang. Ternyata pada pukul 12 malam di ruang resepsionis saat aku bertemu Aan yang hendak ke toilet, Aan sudah mendapatkan kekerasan fisik dengan pukulan dan tendangan. Agar semuanya terlihat tidak terjadi apa-apa, sebelum ke luar dan menuju toilet Aan diminta menggunakan pakaian dan tidak diperbolehkan menyapaku. Mendengar pengakuan itu tubuhku lemas, namun aku berusaha tegar di hadapan suamiku yang terlihat seperti orang paranoid dan trauma hebat.

Dengan mulut yang sulit digerakkan, lalu Aan kembali berusaha menceritakan kejadian pahit itu. Saat tubuh suamiku sudah tak berdaya dan terasa remuk, dengan menodongkan pistol di kepala, Viktor masih saja memaksakan Aan sebagai saksi dan menanyakan di mana senpi yang dimiliki David Tjioe disembunyikan. Padahal saat itu, Aan sudah mengatakan bahwa senpi dititipkan ke Salim, adik dari David Tjioe. Namun Viktor tidak percaya begitu saja, Viktor beranggapan bahwa suamiku adalah orang kepercayaan David dan tahu banyak mengenai David. Memang saat di kantor, Aan dekat dengan David, tapi itu semua hanya sebatas pekerjaan. Suamiku hanya karyawan biasa seperti yang lain dan tidak ada perlakuan khusus.

Setelah selesai Viktor menginterogasi, sekitar pukul 00.30 WIB, dua orang anggota kepolisian dari Polda Metro Jaya yaitu Apollo dan Agung masuk ke dalam ruangan dan menginterogasi suamiku dengan alasan yang berbeda. Saat menginterogasi, mereka mengatakan bahwa menemukan serbuk yang diduga ekstasi di dalam dompet suamiku. Dan saat itulah suamiku ditetapkan sebagai tersangka kasus kepemilikan narkoba.

Bagiku tuduhan yang dikenakan itu tidaklah masuk akal. Karena Minggu (13/12) malam sebelum kejadian Aan sempat minta uang padaku sebanyak Rp 300 ribu dan meminta aku untuk memasukkannya ke dalam dompet. Aan juga tidak pernah sekalipun keberatan jika aku memeriksa isi dompetnya. Jadi aku mengetahui pasti apa saja yang ada di dalam dompet suamiku. Bagiku, tuduhan pihak kepolisian tersebut tidak masuk akal, aku tidak percaya. Suamiku bagaikan tumbal konflik internal petinggi MTJ di gedung Artha Graha yang menjulang tinggi di kawasan Sudirman, Jakarta.

Diteror. Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran salah satu petinggi di gedung Artha Graha itu. Masih dalam keadaan hati dan pikiran yang “kacau”, aku dan mertuaku diteror melalui telepon. Mereka mengancam kalau Aan tidak akan bebas dan dijatuhi hukuman 12 tahun penjara jika tidak memberi tahu semua rahasia David Tjioe.

Setelah menerima teror, Ibu Mertuaku yang saat itu sedang sakit, langsung shocked dan ketakutan. Aku pun sampai saat ini, seperti orang autis, tidak berani mendengar berita televisi. Aku masih sangat parno dan takut tiap kali berangkat ke kantor. Pasalnya gedung di tempat aku bekerja saat ini berhadapan dengan gedung Artha Graha. Untunglah ada seorang teman perempuan yang baik dan mau pulang berangkat kerja bareng. Bila dia cuti, dia mencarikan seorang teman untuk menemaniku.

Pernah aku mencoba untuk resign tapi tidak diijinkan Direkturku. Atasanku mengatakan jika aku harus terus survive meski suami saat ini sedang bermasalah, berada di tahanan dan tidak memiliki pekerjaan. Dia pun memberikanku dispensasi jika tidak masuk ke kantor karena mengurus proses hukum suamiku. Dengan catatan tidak menyelesaikan pekerjaan.

Pasrah. Dengan kejadian ini, aku tidak menyalahkan takdir Tuhan. Aku hanya bisa pasrah dan berdoa untuk kebebasan Aan. Aku percaya kebesaran Allah SWT di balik semua ini. Walau bobot tubuhku sudah turun 7 kg dari 52 kg, Aku tidak pernah menampakkan wajah lelah dan sedih di depan Aan. Aku selalu memberi semangat dan cerita lucu. Selama di tahanan, aku dan Aan selalu bertukar buku harian. Terakhir isi buku harian yang ditulis Aan berbunyi, ‘Semoga Allah SWT mengizinkan kita untuk berkumpul lagi, memiliki keturunan dan membina rumah tangga yang lebih baik lagi’.

Memang aku selalu berusaha terlihat tegar di hadapannya, tapi sesampainya di rumah, di dalam kamar Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak tega melihat suamiku yang sudah terlihat kurus di dalam jeruji besi. Apalagi jika aku merapikan baju Aan di dalam lemari dan melihat tempe orek makanan kesukaannya di rumah.

Terus terang aku benci sekali dengan Apollo yang menuduh bahwa aku dan Aan hidup senang dengan banyak mobil dan uang miliaran. Padahal aku dan Aan masih tinggal di rumah orangtua dan hanya memiliki motor Honda Mega Pro saja. Sempat Aku berpikir, kenapa ada orang yang tidak memiliki hati nurani seperti Viktor dan Polda Maluku dengan tega menyakiti dan menganiaya suamiku yang hanya karyawan biasa. Selain itu Aku juga masih menaruh kebencian dengan Kismadi, salah satu polisi di Polda Metro Jaya yang berlagak baik dan kebapakkan. Pasalnya Aku sangat tahu, pada hari Selasa (15/12/09) sekitar pukul 06.00 WIB bahwa Kismadi-lah yang membawa dan menyuruh suamiku dalam keadaan tidak berdaya untuk menandatangani banyak berkas yang tidak diperlihatkan apa isi dari berkas tersebut. “Maaf, ya, bu, saya hanya menjalankan tugas,” jawab Kismadi saat ku tanya kenapa tega berbuat itu.

Anak Asuh. Saat ini yang selalu ada dalam pikiran Aan adalah nasib ke 58 anak asuhnya yang ada di Jakarta. Karena Aan adalah salah satu pengurus dan orang kepercayaan donatur dari beberapa kalangan artis. Aku yang sudah berusaha menghubungi beberapa donatur tersebut, tidak bisa berbuat apa-apa. Aku juga mulai bingung, karena sisa tabungan Aan dari uang pesangon PHK sebanyak Rp 30 juta kini tinggal Rp 5 juta. Padahal uang tersebut hanya aku gunakan untuk kebutuhan sehari-hari selama tiga bulan terakhir, membayar asuransi dan membayar tagihan kartu kredit, serta bolak-balik mengurus proses hukum Aan.

Harapan. Ternyata benar, Allah Maha Mendengar dan tidak tidur. Aku sangat terharu dan senang karena masih ada orang yang baik dan peduli dengan keadaan suamiku. Selain dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Komisi Yudisial, beberapa pengacara, ada 28 orang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang bersedia melindungi dan menerima kuasa hukum untuk suamiku.

Terutama Edwin Partogi, seorang Aktivis Kontras dari Divisi Politik, Hukum dan HAM juga sebagai senior Aan saat masih aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Selain itu, Aan juga kenal baik dengan keluarga Edwin. Makanya saat sidang kelima kemarin, Aku sempat stres. Karena sakit, Bang Edwin berhalangan hadir. Sebab dengan adanya Bang Edwin cukup melegakan hati dan membuat kami tenang.

Aku menyadari bahwa kasus yang dialami Aan ini melibatkan “orang besar”. Namun Aku percaya di atas “orang besar” masih ada “orang besar” lain lagi. Dengan bukti-bukti dan saksi yang lemah untuk menyudutkan suamiku saat di persidangan, aku berharap hasil sidang lanjutan nanti membebaskan Aan dari segala tuntutan hukum. Dan aku bersama Aan kembali menjalani kehidupan rumah tangga seperti biasanya, serta dapat merealisasikan rencana bulan madu ke Bali dan Lombok yang sejak awal pernikahan belum sempat terwujud, karena Aku dan Aan disibukkan dengan pekerjaan kantor yang menumpuk. Noprica Handayani

1 komentar:

  1. sedih dengar cerita nya saya bisa rasakan dengan menyelami dengan membaca cerita di atas sungguh mencekam waktu demi waktu kayak ngak napak di bumi rasa nya iya kan mbak tapi ingat semua itu ada ganjaran nya

    BalasHapus