Rabu, 06 Oktober 2010

“Dengan sisa tenagaku kutendang dan kulawan penculik itu”

Tulisan ini adalah kisah nyata seorang gadis remaja bernama Yeni Andhika. Ia adalah korban selamat penculikan dan human trafficking di Jakarta Utara pada Februari 2010. Berikut kisahnya.

Jika selama ini penculikan gadis yang kemudian dipaksa untuk menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) hanya aku lihat di sinetron atau berita kriminal, kini kejadian ini benar-benar menimpaku. Hal yang tidak pernah ada sedikitpun dalam benakku. Aku yang tidak pandai bergaul dan merupakan sosok yang pendiam, sangat shocked dengan kejadian ini. Namun Aku masih bersyukur, Allah menyelamatkanku dari jurang kenistaan itu.

Panggil saja aku Yeni (17 tahun). Aku lahir dan besar di Jakarta. Saat ini aku tinggal bersama kedua orangtua dan ketiga adikku di sebuah pemukiman di daerah Penjaringan, Jakarta Utara. Aku anak pertama dari empat bersaudara. Sejak kecil aku adalah anak yang tertutup, pendiam dan tidak tertarik dengan gemerlapnya dunia luar. Yang aku tahu, aku sangat menyayangi orangtua dan ketiga adikku.

Saat ini aku duduk di bangku kelas 3 SMUN 40 di kawasan Jakarta Utara. Karena aku anak yang pertama, aku merasa memikul beban keluarga, harus membantu membiayai sekolah adik-adikku yang masih kecil dan membahagiakan keluarga. Singkat kata, aku harus membantu perekonomian keluarga. Oleh karena itu, tidak ada niatan sedikitpun untuk melanjutkan kuliah setelah aku lulus SMU. Karena biaya dari mana? Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja, keluargaku hanya bergantung dari hasil jerih payah ayah sebagai tukang ojek, sedangkan ibu hanya mengurus rumah dan adik-adikku. Maka dari itu, aku berusaha untuk mendapatkan nilai terbaik di sekolah. Alhamdulillah, nilai terakhir semester kemarin cukup memuaskan. Aku dapat peringkat kedua di kelas.

Peristiwa. Aku memang bukan gadis cantik, tapi aku juga nggak jelek-jelek amat. Tinggi badanku 155 Cm dengan berat badan 43 Kg membuat bentuk tubuhku terlihat langsing. Belum lagi rambutku yang sedikit ikal dengan panjang setengah punggung dan kulitku yang putih bersih, menutupi kekurangan pada hidungku yang tidak terlalu mancung ini.

Peristiwa mengerikan itu masih terekam jelas diingatanku. Pagi itu, Sabtu (27/2) sekitar pukul 07.30 WIB, langit terlihat cerah. Seharusnya hari itu aku libur dan nikmati waktu bersantai di rumah bersama keluarga. Namun karena aku harus mengikuti pelajaran tambahan untuk persiapan EBTA pada Senin (8/3), dengan semangat aku memulai hari itu dengan penuh keceriaan. Ya, aku tidak ingin gagal saat ujian nasional nanti. Berjuta asa aku gantungkan pada nilai ujian akhir nasional, agar mudah mendapatkan kerja selepas SMU. Aku juga tidak mau mengecewakan orangtuaku karena sudah banyak biaya yang harus mereka keluarkan untuk membiayai sekolahku. Bagiku, sepeser Rupiah sungguh bernilai karena didapatkan dengan susah payah oleh Ayah.

Karena jarak antara sekolah dan rumah lumayan jauh, sekitar 6 km, kadang aku diantar Ayah atau Ibu, atau naik kendaraan umum dengan pindah angkutan sebanyak dua kali. Pagi itu, aku berangkat sekolah bersama ibu dengan mengendarai sepeda motor. Tapi karena tujuan aku dan ibu berbeda, kami berpisah di persimpangan jalan. Aku turun dan naik kendaraan umum, sedangkan ibu melanjutkan perjalanannya dengan sepeda motor. Takut telat sampai di sekolah, aku bergegas naik metro mini 02 yang ke arah kota.

Di tengah perjalanan menuju arah WTC Mangga Dua, lalu lintas padat merayap. Tidak seperti hari-hari biasanya, pagi ini lalu lintas sangat macet. Setelah metro mini yang aku tumpangi berada di depan WTC Mangga Dua, barulah aku tahu jika kemacetan ini akibat dari kebakaran di daerah Pademangan yang lokasinya tak jauh dari situ. Sekitar 30 menit angkutan yang aku tumpangi tertahan di tempat dan tidak dapat bergerak sedikitpun, akupun memutuskan turun dan pindah ke angkutan lain di jalan yang sudah bebas dari macet.

Dibekap. Begitu turun dari metro mini ternyata jalan raya ditutup dan tidak diperbolehkan siapapun melintasi jalan itu. Aku pun memilih ‘jalan tikus’ untuk memotong jalan agar cepat sampai ke sekolah. Pikirku saat itu, ‘jalan tikus’ adalah alternatif yang paling bagus supaya cepat sampai sekolah.Meski aku akui, aku sangat asing dengan jalan ini. Aku ingat sekali, saat itu aku berjalan dengan langkah lari-lari kecil di kawasan Budi Kemuliaan.

Setelah jauh dari jalan utama tempat aku turun dari angkutan umum tadi, saat aku ingin melewati jalan yang lebih kecil lagi, aku melihat ada tiga orang pria bertubuh besar dan berkulit hitam legam, menggenakan kaos hitam dan celana jeans. Tidak ada pilihan lain, aku pun memberanikan diri untuk melewati tiga orang berperawakan seperti orang Negro itu.

Saat itu suasana benar-benar sepi. Tidak ada siapa-siapa selain aku dan mereka. Dengan rasa takut dan detak jantung yang berdegup kencang, sambil menundukkan kepala dan merangkul tas di depan dada, aku melewati mereka dengan minta permisi terlebih dulu. Aku merasa saat ngeri saat itu. Jangankan bertemu dengan orang asing, di sekolah atau di sekitar rumah pun aku tidak berani untuk memulai menyapa atau bicara kepada orang lain. Ya, aku memang dikenal pendiam dan tertutup. Sifat ayahku lah yang banyak menurun ke aku.

Hup! Akhirnya aku melewati mereka juga. Namun sekitar 20 langkah kakiku melangkah dari tempat mereka duduk tadi, detak jantungku semakin berdetak cepat seakan tidak terkendali. Perasaan takutku semakin tak karuan, aku merasakan ada yang mengikutiku dari belakang. Tapi aku tidak berani menoleh ke belakang, aku takut jika memang merekalah yang mengikutiku. Namun suara langkah kaki yang lebih dari satu orang membuatku yakin jika merekalah yang mengikutiku.

Di saat langkahku semakin cepat, tiba-tiba ada tangan kuat yang mendorong dan menutup hidungku dengan sapu tangan dari arah belakang. Aku pun sudah tidak mengetahui apa yang terjadi denganku.

Tiba-tiba, aku terjaga dan saat itu aku sudah ada di ruangan sempit dengan tembok berwarna putih. Tak ada jendela dan tidak ada celah udara yang masuk ke dalamnya. Di ruangan pengap itu, ternyata aku tidak sendiri. Ada dua orang gadis seusiaku yang terus-menerus meneteskan air mata. Di saat itulah, baru aku tahu kalau aku bernasib sama dengan mereka. Aku diculik dan akan dijadikan Pekerja Seks Komersial (PSK) oleh tiga pria yang berperawakan tinggi besar, berkulit hitam yang aku temui di jalan kecil tadi pagi.

Diam-diam, aku tarik handphone CDMA ku dari kantong. Saat aku lihat jam di HP ku, ternyata sudah menunjukkan pukul 19.00 WIB. Meskipun di ruangan itu kami hanya bertiga, tapi kami tidak saling sapa dan bicara antara satu dan lainnya. Lidah kami kelu, kami shocked, takut, dan memikirkan diri masing-masing. Seperti dua gadis itu, aku juga terus menerus terisak dan menangis. Hati dan pikiranku sudah bercampur aduk. Aku membayangkan seperti apa masa depanku jika aku tidak segera bertemu keluarga hari ini juga.

Berontak. Hingga pagi menjelang, aku dan dua gadis itu terus dijaga ketat oleh tiga laki-laki itu secara bergantian. Yang terus terlintas di pikiranku, bagaimana caranya aku bisa keluar dan melarikan diri dari tempat ini dengan selamat. Pelan-pelan, sambil memutar otak, aku mengikuti pola pikir penculik. Memang, selama dikurung aku tidak ditanyai apa-apa. Hanya saja, di ruang tempat yang aku berada, terus dijaga ketat secara bergantian.

Pagi itu, Minggu (28/2), sekitar pukul 05.30 WIB, aku dan dua gadis yang satu ruang denganku, diberi makan seadanya. Tak lama setelah itu, satu dari tiga pria yang berperawakan Negro menggiring aku ke arah mobil Toyota Kijang berwarna coklat. Dari percakapan mereka, aku mengetahui jika aku akan mereka bawa ke Batam untuk dijual dan dijadikan PSK (Pekerja Seks Komersial). Di saat itulah, aku berontak untuk melarikan diri. Dalam keadaan tangan yang tidak diikat, segera aku berbalik badan. Aku langsung menendang dan mendorong penculik itu. Satu laki-laki lainnya segera meraih tubuhku yang kurus. Aku dipukul, ditempeleng, dan didorong hingga tersungkur ke tanah. Saat itu aku merasakan pukulan yang sakit sekali dikedua bagian bahuku. Meski begitu, aku tidak mau menyerah, dengan sekuat tenaga yang aku punya, aku kembali melawan dan terus menendang penculik itu.

Alhamdulillah, Allah Maha Segalanya. Kembali aku diberi kekuatan hingga mampu mendorong dan menendang pria berkulit hitam itu hingga tersungkur. Dengan sekuat tenaga yang tersisa, aku lari sekencang mungkin tanpa tahu ke mana arah yang kutuju. Mereka pun tidak tinggal diam. Mereka mengejar aku dengan membabi buta. Hingga akhirnya tubuhku sangat lemas dan nafasku tersengal-sengal. Sambil berlari, aku menangis dan bingung mesti lari ke mana lagi. Semua yang terlihat hanya pohon-pohon dan persawahan. Tidak ada tanda kehidupan dan pemukiman yang terlihat. Sampai akhirnya aku sembunyi, masuk ke dalam sawah di antara jejeran pepohonan yang rimbun. Masih terasa terancam, aku tetap bertahan dan diam bersembunyi di tempat tersebut. Meski saat itu terik matahari sangat menyengat dan aku haus sekali, namun aku harus kuat hingga situasi aman untuk keluar dari tempat persembunyian.

Ditolong. Saat itu, sekitar pukul 17.00 WIB, pelan-pelan aku mulai melangkah keluar dari tempat persembunyian. Sambil berlari kecil dan bersembunyi aku mencari sumber suara lalu lintas. Ternyata sumber suara itu berasal dari atas. Agar dapat ke jalan raya aku harus berjalan dengan kemiringan jalan 50 derajat, sedikit mendaki memang. Saat itu aku haus, perutku sangat lapar, tubuhku lemas, dan wajahku pucat.
Sesampainya aku di jalan raya, aku terus berjalan hingga akhirnya aku melihat sebuah counter HP di pinggir jalan. Dengan suara terbata-bata dan tubuh gemeteran, aku bertanya lokasi tempat kini aku berada, pada gadis penjaga counter. “Cikopo, Cikampek,” jawab gadis itu penuh keheraan melihat keadaanku.

Aku ingin menelepon Ayah. Syukurlah HP CDMA ku masih ada di kantong. Tapi karena susah mendapatkan sinyal, akhirnya aku minta tolong gadis itu untuk menelpon ke nomor ayahku. Tak lama, telepon pun tersambung. Ada sedikit perasaan lega dalam hati ini. “Halo, pak. Ini Yeni. Jemput Yeni, pak,” tuturku sambil menangis saat mendengar suara Ayah di seberang sana. Karena aku sangat lemas dan tidak begitu paham daerah tersebut, akhirnya ayahku meminta agar telepon diberikan kepada gadis itu.

“Pak, cepat ke sini, Pak. Muka anak bapak pucat sekali. Anak bapak habis dikejar-kejar orang,” jelas gadis itu sedikit panik. “Di daerah mana, bu?” tanya ayahku lagi. “Di Cikopo, Pak,” jawab gadis yang berkulit sawo matang itu. Setelah itu, dengan rawut wajah yang cemas dan prihatin, ia langsung mengantar aku ke Pos Polisi Cikopo, Cikampek seperti saran ayahku. Sesampai di Pos Polisi itulah aku merasa aman dari kejaran tiga pria berkulit hitam seperti Negro itu.

Sekitar pukul 19.00 WIB ayahku tiba di Pos Polisi. Lalu Ayah menemaniku saat aku diinterogasi tentang kronologis kejadian oleh Polisi. Setelah selesai pemeriksaan, masih diliputi dengan perasaan takut, aku dan ayahku disuruh kembali ke rumah. Sepertinya penanganan polisi hanya sampai di situ saja. Polisi tidak berusaha memberikanku perlindungan khusus karena bagaimanapun juga semua identitasku ada ditangan penculik. Masih dengan perasaan was-was akupun pulang dengan ditemani ayah.

Setiba di rumah, sekitar pukul 23.30 WIB, aku disambut dengan mata berlinang oleh ibu, ketiga adik-adikku, dan beberapa anggota keluarga lainnya. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya diam dan menangis terisak-isak. Melihat tubuh dan bajuku yang terlihat kumal, lalu ibu membawaku ke kamar dan membersihkan tubuhku dengan air hangat serta mengganti pakaianku dengan yang bersih. Selama tubuhku dibersihkan, lidahku kelu. Bibirku rasanya berat sekali untuk digerakkan. Aku tidak memiliki kekuatan untuk bercerita dan mengingat kembali seperti apa kronologis dan penderitaan yang aku alami. Pasalnya semua data, buku-buku, dan KTP, ada di dalam tas yang tertinggal di ruangan tempat aku dikurung oleh penculik itu.

Hingga kini, aku pun masih dicekam rasa ketakutan. Tidak ada perlindungan dari kepolisian atau pihak yang berwenang. Orangtuaku pun tidak memindahkan aku, meski hanya untuk sementara tinggal bersama saudaraku. Maklum saudara ibu ataupun ayah juga memiliki perekonomian yang sama dengan keluargaku. Satu-satunya perlindungan untukku, dilakukan sendiri oleh ayah dan ibuku. Mereka secara bergantian mengantarku kemana pun aku pergi.

Aku sangat trauma, aku takut ke luar rumah, bahkan untuk bertemu laki-laki asing yang tidak pernah aku lihat. Terlebih seperti pria yang berperawakan seram dengan tubuh yang tinggi besar dan berkulit hitam mirip seperti orang Negro. Namun aku masih bisa bersyukur kepada Allah SWT, karena “matahariku” tidak direnggut oleh laki-laki itu, meski saat ini, aku masih menahan rasa sakit di bagian bahuku yang berwarna biru juga dengan tubuh yang terasa remuk. Dan aku juga bersyukur karena hanya aku yang berhasil melarikan diri dari ketiga penculik itu. Tentang nasib kedua gadis yang bersamaku, kini aku sudah tidak tahu lagi bagaimana nasibnya. Karena aku hanya mampu berfikir dan berusaha melarikan diri sendiri. Semoga saja mereka memiliki keberanian yang sama sepertiku sehingga tidak sampai dijual dan dijadikan PSK oleh ketiga laki-laki biadab itu. Noprica Handayani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar