Rabu, 06 Oktober 2010

“Hanya keadilan yang aku pinta, bukan belas kasih”

Indra Azwan (51), Mencari Keadilan dengan Berjalan Kaki dari Malang-Jatim, untuk Bertemu Presiden SBY

Lagi-lagi keadilan untuk rakyat kecil di negara ini kembali dipertanyakan. Kekuatan hukum seolah tidak berkutik bila dihadapkan pada kekuasaan. Seperti Indra Azwan yang sudah 17 tahun berjuang mencari keadilan untuk anaknya Rifki Andika, 12 tahun yang menjadi korban tabrak lari AKP Pol Joko Sumantri hingga tewas pada tahun 1993. Setelah berbagai perjuangannya tidak membuahkan hasil, baginya hanya presiden yang sanggup membantunya. Seperti apa perjuangan pria kelahiran Malang, 21 Desember 1959 ini hingga nekad ke Istana Negara untuk menemui presiden?

Anakku Rifki memang sudah 17 tahun lalu meninggal dunia. Tapi luka di hatiku tetap menganga lebar, bukan aku tidak ikhlas menerima takdir-Nya, tapi nyawanya seakan tidak berharga. Kali ini kesabaranku sudah habis! Aku harus mendapatkan keadilan, harus! Aku pikir, yang bisa membantuku hanya presiden, karena bagiku hukum tak pernah tegak dan seakan memperolok kami rakyat kecil.

Ini bukan kali pertama aku perjuangkan keadilan untuk anakku. Sudah puluhan kali aku berjuang, terhitung sejak anakku tewas pada 8 Februari 1993. Berbagai upaya pengaduan sudah aku lakukan. Mulai dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, LBH Jakarta, Komnas HAM, Kontras, Mahkamah Agung, dan Komisi Ombudsman. Namun dari tahun ke tahun rasa pilu dan kekecewaan yang bersemayam semakin menghantui tiap nafasku.

Hingga detik ini, belum ada tindak lanjut dari aparat penegak hukum untuk mencari kebenaran dan keadilan atas nyawa anakku. Tak patah arang, meski penengak hukum tidak tertembus, aku beranikan diri melaporkan masalah ini pada anggota komisi III DPR, Aziz Syamsuddin. Selain itu, aku juga melaporkan ke salah satu staf Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Masih lekat dalam ingatanku, saat itu satgas berjanji akan mengusut tuntas kematian anakku. Waktu berjalan, namun tidak juga ku terima kabar darinya. Sampai akhirnya, beberapa minggu yang lalu aku coba menghubunginya. Namun sungguh diluar dugaan, staf tersebut berkata, jika kasus anakku yang pernah mereka janjikan untuk diusut tuntas bukanlah urusan mereka. Dengan suara tegas dan keras, dia mengatakan jika kasus tabrak lari yang merenggut nyawa anakku adalah tugas Deputi Hukum. Mendengar kabar itu, lukaku bagai ditabur garam, perih sekali. Nyawa anakku dianggap bagai binatang. Rasanya apapun yang sudah aku lakukan, bagai setetes embun di pagi hari yang sesaat mengering di bawah teriknya mentari.

Memang aku adalah rakyat kecil yang sehari-harinya bekerja sebagai penjaja koran dan pemilik warung kopi dengan penghasilan rata-rata Rp 70 ribu per hari. Tapi apakah aku tidak pantas mendapat keadilan sebagai warga negara? Haruskah aku menunggu hingga ajal menjemputku? Aku tidak akan berhenti.

Kronologis. Peristiwa pilu itu, terjadi saat anakku tengah nyeberang dari arah Timur ke Barat sepulang dari belajar kelompok di rumah teman sekolahnya. Jaraknya sekitar 50 meter dari rumahku yang berada di jalan Letjen S Parman, Malang, Jawa Timur. Bagai petir di siang bolong, tak kuat kubayangkan bagaimana tragisnya dan kesakitannya anakku saat itu (terdiam sambil menahan isak tangis-red). Tiba-tiba dari arah Utara muncul dengan kecepatan tinggi mobil pribadi. Tak terelakkan, mobil tersebut langsung menabrak anakku hingga tewas. Anakku terluka parah, semua orang berusaha menolongnya. Sungguh tak sanggup bila ku ingat itu, tak ada yang mendampinginya meredam rasa sakit. Oh anakku maafkan bapak nak, karena tak ada di sampingmu saat itu. Betapa hebatnya mobil itu menghantam tubuh kecil anakku yang masih berusia 12 tahun, sampai-sampai lampu mobil sebelah kanan depannya pecah.

Menurut saksi mata, setelah menabrak anakku, mobil tersebut sempat berhenti sebentar, kemudian langsung kabur dengan kecepatan tinggi. Tapi untunglah warga yang melihat kejadian tersebut, langsung mencatat nomor polisi mobil itu dan mengejarnya. Ternyata mobil tersebut berhenti ke kantor Polwil Malang. Saksi mata yang mengikuti mobil itupun akhirnya menelusuri siapa pemilik mobil tersebut, yang sangat tega dan tanpa rasa kemanusiaan meninggalkan anakku yang tergeletak di tengah jalan dalam keadaan bersimbah darah dan tidak berdaya. Usut punya usut, mobil tersebut dikendarai seorang anggota kepolisian yaitu Joko Sumantri yang saat itu masih berpangkat AKP dari Polwil Malang.

Sungguh malang nasib anakku, sebelum tiba di Rumah Sakit Saiful Anwar, Malang, Jawa Timur, ia telah menghembuskan nafas terakhirnya. Hatiku saat itu sangat hancur. Aku seperti orang kesetanan dan mempertanyakan hal ini pada Tuhan. Andai saja aku menemaninya belajar kelompok, andai saja aku ada disisinya, andai saja aku orang pertama yang menolongnya, mungkin saat ini Rifki telah memberiku seorang cucu dan selalu menemaniku mendaki gunung. Astagfirullah, tak kuat hatiku jika dihantui rasa bersalah ini. Tak hanya rasa bersalah pada diriku yang bertahun-tahun ku pendam, aku juga merasa bersalah pada mantan istriku, ibu kandung Rifki, Nurqasanah yang saat itu berada di Jakarta dengan keluarga barunya.

Proses Hukum. Ironisnya , oknum yang menabrak anakku hingga tewas tersebut sepertinya sulit tersentuh hukum. Bayangkan, aku berjuang sejak tahun 1993 namun sampai saat ini belum ada titik terang. Tahun 2004, aku daftarkan perkara ini ke Pengadilan Tinggi Militer. Tapi karena tersangka tersebut (Joko Sumantri –red) sedang naik pangkat maka Pengadilan Militer Tinggi tidak bisa menerima perkara ini. Berkas perkara pun diminta untuk diperbaiki dan dikembalikan ke kepolisian, selanjutnya dikirim kembali ke kejaksaan. Tahun berganti tahun, hingga akhirnya ada secercah harapan untuk mendapatkan keadilan bagi anakku. Tahun 2008, sidang perkara anakku pertama kali digelar.

Sungguh aneh, saat sidang digelar, aku tidak diperbolehkan masuk dan hanya boleh menunggu di luar. Aku lebih heran lagi saat diujung proses sidang, hakim memutuskan bahwa AKP Pol Joko Sumantri bebas dari dakwaan dengan alasan kasus ini sudah kadaluwarsa alias basi. Ketika ku tanya hakim tentang keputusannya, dengan mudahnya ia mengatakan kalau dia hanya menyidangkan saja. Rasa sakit hati ini semakin dalam, dan aku baru percaya ternyata memang ada mafia-mafia peradilan dan hukum di Indonesia. Sepertinya seluruh institusi hukum di Indonesia hanya mengobral janji untuk rakyat kecil.

Pernah juga aku mengirim surat ke Kompolnas dan Gubernur PTIK, namun tidak juga ku dapat respon positif. Begitu pun dengan lembaga-lembaga penegak hukum yang lain. Oleh karena itu, aku mencoba untuk bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono demi keadilan hukum anakku, dengan nekad berjalan kaki dari Malang-Jawa Timur ke Istana Negara, Jakarta.

Perjalanan.
Hanya dengan berbekal semangat dan keberanian, aku putuskan pada 8 Juli 2010 untuk melangkahkan kaki dari kota Malang menuju Jakarta. Sepertinya ini adalah cara terakhirku agar dibukakannya pintu kebenaran dan keadilan hukum bagi kami rakyat kecil. Sungguh, 17 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mendapatkan keadilan. Perjuanganku selama ini sepertinya sia-sia, rasanya sangat susah dan rumit hukum di negara ini.

Aku sadari, perjalanan yang mesti aku tempuh dengan berjalan kaki dari Malang hingga Istana Negara, Jakarta, akan banyak rintangannya. Misalnya cuaca atau kondisi kesehatanku yang sudah tidak muda lagi. Namun semuanya tidak menyurutkan niat awalku untuk mencari keadilan. Setelah berdiskusi panjang lebar dengan keluarga, keluargaku pun menyetujuinya dengan syarat harus membawa handphone. Dengan membawa uang Rp 500 ribu, lima stel pakaian, dua pasang sepatu, tiga pasang kaus kaki, peta, dan beberapa surat izin long march juga spanduk untuk dipasangkan di depan dan di belakang badan, selama dalam perjalanan, aku mulai berjalan kaki dari Malang menuju Jakarta.

Dari Malang, kota pertama yang aku tempuh adalah Sidoarjo. Setelah itu menyusul Surabaya, Lamongan, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, Semarang, Pekalongan, Cirebon, Jatibarang, Kerawang, Bekasi, hingga tiba di Jakarta setelah 22 hari berjalan.
Alhamdulillah, selama di perjalanan aku tidak mendapatkan kendala yang cukup berarti. Malah banyak yang bersimpati bahkan memberi makan, minum, dan tempat untuk istirahat sejenak meski kadang hanya sekedar foto. Setiap harinya, perjalanan aku mulai setelah salat Subuh sekitar pukul 05.30 WIB hingga pukul 21.00 WIB. Namun jika sampai pukul 21.00 WIB aku belum mendapatkan SPBU, aku akan terus berjalan hingga menemukan “hotel” SPBU untuk istirahat tidur. Untuk makan sehari-hari, biasanya berhenti di warteg. Bagiku sehari cukup makan dua kali, sarapan dan sore hari.
Yang dikhawatirkan oleh keluargaku selama perjalanan tidak terjadi. Allahu Akbar, aku tidak sakit selama perjalanan. Hanya saja kulit di kedua telapak kakiku sudah kapalan dan kuku jari manis kakiku mau copot. Namun sakit ini bukanlah sakit yang serius, seserius keadilan yang aku perjuangkan.

Tunggu Maaf Pelaku. Aku begini bukan berarti aku mengharapkan dana ataupun belas kasihan dari siapapun. Tujuanku hanya satu. Aku ingin ditemui Presiden SBY, bila ditemui yang lain aku tidak mau. Aku sudah pesimis dengan penegakan hukum di Indonesia. Sebagai masyarakat kecil, aku menganggap kekuatan hukum saat ini hanya berpihak kepada orang-orang yang berduit saja. Di sini, aku hanya mengharapkan keadilan hukum anakku yang menjadi korban tabrak lari oleh seorang oknum polisi yang hingga kini, sedikit pun tidak tersentuh hukum. Pelaku pun belum pernah mengucapkan permintaan maaf kepada ku dan keluarga besar ku. Memang aku rakyat kecil, tapi apakah aku tidak pantas untuk mendapatkan keadilan dan menyampaikan keluh kesahku kepada Presiden? Pak Presiden, dengarkanlah jeritan rakyat kecil ini, sudah 17 tahun perjuanganku demi nyawa anakku tercinta.

Sepuluh Kali Mogok Makan di Istana

Aku sangat menikmati perjalanan sepanjang jalan Pantura yang aku lewati. Hingga setibanya aku di Cikampek, banyak simpatisan dan relawan, baik dari campuran semua gank motor dan Arema ikut berjalan. Alhamdulillah, tepat sekitar pukul 14.40 WIB, Jumat, 30 Juli 2010, aku tiba di Jakarta dan langsung mendatangi LBH Jakarta setelah 22 hari berjalan kaki dari rumahku yang berada di Jalan Watu Genok Barat, Blimbing, Malang, Jawa Timur.

Tanpa berpikir panjang, akupun segera memberi kabar kepada istriku, Bety Benartiyani melalui sambungan telepon. Setelah itu, barulah aku melanjutkan perjalanan dari LBH Jakarta menuju Istana Negara. Dari LBH Jakarta yang berada di Jalan Mendut, aku didampingi beberapa relawan. Aku berjaln dengan rute Menteng, Bundaran Hotel Indonesia (HI), hingga Jalan Medan Merdeka Barat. Sepanjang perjalanan menuju Istana Negara, aku mulai dikawal oleh polisi bermotor, tepatnya sejak aku melakukan orasi sekitar 10 menit di Bundaran HI.

Tapi sayang, sesampainya di Istana Negara sekitar pukul 17.00 WIB, rencana menggelar aksi ketika presiden keluar dari Istana digagalkan oleh polisi. Pasalnya perizinan untuk menggelar aksi tersebut katanya, tidak memungkinkan. Setelah satu jam berada di depan Istana, sekitar pukul 17.50 WIB, belum juga ada tanda-tanda presiden akan menemuiku. Dengan hati yang letih, akupun beranjak pergi dan kembali ke LBH Jakarta.
Tiga hari kemudian, Senin (2/8) siang, aku kembali mendatangi Istana, setelah sebelumnya aku datang ke Wisma Nusantara untuk datang di salah satu program acara berita dan bertemu dengan Staf Khusus Presiden SBY di bidang hukum, Denny Indrayana.

Di Istana, aku hanya ingin menyampaikan langsung kepada Presiden SBY mengenai masalah yang aku alami. Sebetulnya, sudah lima kali aku menyurati Presiden SBY, namun tidak ada tanggapan. Selain itu, pernah juga aku melakukan beberapa aksi agar bisa bertemu dengan presiden. Kali pertama sekitar tahun 2006. Pada 31 Agustus 2009, aku juga pernah melakukan aksi demonstrasi seorang diri dan mogok makan di depan Istana Negara dan di depan kediaman Presiden SBY di Cikeas, Jawa Barat.

Namun saat itu, perjuanganku untuk bertemu presiden SBY belum membuahkan hasil. Aksi mogok makan pun terus berlanjut pada tanggal 2 November sampai 13 November 2009 di depan Monumen Nasional. Mungkin sudah ada 10 kali aku datang ke Jakarta dan melakukan aksi demonstrasi, mogak makan hanya untuk bertemu Presiden SBY.
Tanggal 25 April 2010 aku kembali mencari keadilan hukum untuk anakku dengan melakukan demo seorang diri di depan kediaman SBY di Cikeas. Nihil juga hasilnya, akhirnya aku menitipkan surat untuk Presiden. Hingga kini aksi nekad yang sudah berpuluh kali aku lakukan tersebut, belum juga mendapatkan respon dari Presiden SBY. Noprica Handayani

Satu Jam Bertemu Presiden

Sudah sepekan lebih aku berada di Jakarta, sepertinya lelah perlahan mulai menyapaku. Seakan asa semakin redup, aku putuskan pada hari Minggu (8/8) adalah hari terakhirku memberikan orasi atas keadilan hukum anakku dengan berjalan kaki dari LBH Jakarta Pusat ke Ragunan, Jakarta Selatan. Sepulang dari sana, akupun mulai membereskan segala perlengkapan untuk pulang ke Malang.

Sesungguhnya dengan berat hati, Senin (9/8) siang, aku akan beranjak meninggalkan Jakarta dengan melangkahkan kaki ke stasiun Senen. Dan setiba di sana aku langsung beli tiket kereta jurusan Malang. Setelah beberapa jam menunggu kereta datang, handphone yang berada di saku ku bergetar. Saat kulihat, penelpon tersebut tak lain adalah Sekretaris Satgas Antimafia Hukum, Denny Indrayana, orang yang selama ini membantuku untuk menyampaikan keinginannku untuk bertemu Presiden dan juga memperjuangkan keadilan almarhum Rifki. Di ujung telepon, Denny mengatakan jika Presiden ingin bertemu hari Selasa (10/10) sekitar pukul 15.30 WIB. Dan ia menyarankan jika pemberangkatan aku yang tinggal menunggu beberapa jam lagi dibatalkan. Dan kembali ke LBH Jakarta sebelum keesokan harinya bertemu Preiden SBY.
Sungguh di luar dugaan, aku hanya bisa mengucapkan syukur Alhamdulillah, walaupun setelah 17 tahun berjalan dan dengan perjuangan nekadku jalan kaki dari Malang ke Istana Negara, akhirnya Presiden SBY mau menemui aku yang sudah renta dan penuh dengan peluh keringat ini.

Masih bagaikan mimpi serta jantung yang makin berdegub kencang, akupun mulai mengenakan setelan batik abu-abu putih lengan panjang yang saya padu dengan celana berbahan kain. Tidak ada yang tampak berbeda dari awal penampilanku sebelumya, aku masih berambut gondrong dengan rambut kukuncir ke belakang.

Ah, akhirnya tepat sekitar pukul 15.45 WIB aku tiba di komplek taman Istana Negara. Akhirnya aku bertemu Presiden. Dia Presiden SBY yang selama ini sangat ingin aku temui . Dengan hati yang sangat terharu aku menyampaikan dan mengeluarkan segala uneg-uneg kepada Presiden. Usai menyampaikan segala permasalahan hukum yang menimpa anakku, lalu Presiden mengajak aku berjalan keliling di Istana Negara.

Banyak hal yang Presiden ceritakan dalam perbincangan kurang lebih sekitar satu jam lamanya. Mulai dari penjelasan banyak gedung di sekitar Istana, Istana Merdeka dan Istana Negara. Tak lupa, selain itu Presiden juga mengatakan jika mengenai permasalahan hukum anakku, beliau memberi wewenang hukum kepada Menteri hukum dan HAM, Patrialis Akbar dan Sekretaris Satgas Antimafia Hukum, Denny Indrayana. Saat itu juga turut menemani Menteri Sekretaris Negara, Sudi Silalahi, serta Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha.

Hari itu, merupakan hari emas dalam hidupku. Tadinya aku yang hendak pulang dengan hati yang tergores pilu, disembuhkan meski hanya berlangsung selama satu jam bertemu SBY. Aku sadar, jika mengungkap proses hukum itu tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan, tapi pasti melewati berbagai proses. Karena banyak jenderal yang terlibat di dalamnya. Untuk itu, seperti disampaikan Presiden untuk perkembangan kasus anakku akan berjalan setelah Hari Raya Idul Fitri 1431 H, nanti. Aku pegang apa yang telah disampaikan Presiden. Yang penting proses jalan terus. Noprica Handayani

2 komentar: